Claris mengernyit karena saat dia bangun tidak hanya matanya yang terasa berat, tapi juga tenggorokannya yang terasa kering. Apalagi saat ternyata Gama masih memeluknya, Claris langsung menggeliat agar Gama tahu bahwa dia telah bangun.
"Udah bangun, Sayang?"
Claris mengangguk saat merasakan Gama mempererat pelukannya. "Lepas, Kak."
"Kamu mau ngapain? Ini masih malem."
"Aku haus. Sekalian mau cuci muka."
Gama menghela napasnya. "Ya udah, kamu diem di sini. Biar aku yang ambil air."
"Tapi aku mau cuci muka juga."
"Iya, nanti sekalian aku bawain, Sayang."
Claris akhirnya mengangguk dan mendudukkan diri lalu bersandar pada kepala ranjang. Sambil menunggu Gama kembali, Claris memutar ingatannya kenapa dia bisa menangis. Memang sejak hamil, Claris mudah melupakan sesuatu jadinya terkadang dia suka bingung sendiri.
Begitu mendapat ingatan mengapa dia menangis, Claris menahan dirinya untuk tidak menangis lagi. Tapi dia tak berhasil. Claris malah kembali menangis.
Saat Gama kembali, dia terkejut melihat Claris sudah menangis lagi. Gama segera menghampiri Claris setelah menaruh baskom berisi air dan sapu tangan dan air minum untuk istrinya itu.
"Kenapa lagi, Sayang?"
Claris menatap Gama dengan pandangan yang menurut Gama sangat menyedihkan.
"Kenapa, Kak? Kenapa kamu bisa se-enggak perduli itu sama anak-anak?"
Gama diam, ingin membiarkan Claris bicara agar dia tahu apa yang telah membuat Claris menangis. Tapi Claris malah menangis seraya menutupi wajahnya.
Gama menghela napasnya lalu memeluk Claris. "Iya, aku tau aku salah karna gak perduli sama anak-anak, Cla. Maaf. Maaf. Tapi aku harus gimana, Cla? Aku juga kerja untuk mereka. Biar mereka gak ngerasain gimana susahnya hidup. Aku cuma gak mau anak-anakku kekurangan."
Claris menatap Gama lagi. "Nyatanya mereka tetep kekurangan, kan? Mereka kekurangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya sampe mereka bikin karakter mereka sendiri dan cari perhatian sama orang lain! Kamu pernah mikir dampak buruk yang bakal terjadi sama setiap apa yang mau kamu lakuin atau keputusan yang kamu ambil gak sih, Kak? Apa kamu selalu mikir bahwa apa yang kamu lakuin dan setiap keputusan kamu itu adalah yang paling terbaik? Kamu egois tau gak! Gak heran kalo anak-anak kamu jadi egois!"
Gama diam. Tak menyangka Claris akan sehisteris seperti ini.
"Kenapa, Kak? Kenapa? Kamu terlalu larut sama kesedihan kamu soal kehilangan Mbak Riana sampe kamu gak perduliin mereka? Kalo gitu kenapa kamu harus punya anak sama Mbak Riana kalo kamu masih gak siap buat ngurus dan ngerawat mereka? Anak-anak itu korban kamu, Kak! Korban dari keegoisan kamu! Kamu yang salah di sini sampe anak-anak kamu bermasalah kayak gitu! Kamu gak seharusnya—"
"Cukup, Cla! Kamu itu gak tau apa-apa soal aku dan Riana!" kata Gama mulai terpancing karena Claris membawa nama mendiang istrinya.
Claris tersenyum walau air matanya masih membasahi pipinya. "Oh, ya? Terus apa kamu tau soal anak-anak kamu itu? Kamu tau apa aja kegiatan mereka di luar sana? Kamu tau dengan siapa aja mereka bergaul? Nggak, kan?"
"Anak-anak soal lain, Cla!"
"Liat, kan? Kamu bakalan nyalahin anak-anak kamu lagi! Kamu selalu nyalahin anak kamu yang pengalaman mereka lebih sedikit dari kamu! Kamu harusnya sadar, Kak, kalo kenakalan dan kesalahan anak itu juga diliat dari gimana cara orang tua ngedidik anaknya. Sekarang aku tanya, apa yang udah kamu didik buat mereka selain uang kamu? Apa?!"
Gama memejamkan matanya. Berusaha sebisa mungkin agar tak terpancing karena Claris sedang hamil dan dia tak ingin terjadi sesuatu pada Claris dan kandungannya itu.
Sedangkan di sisi lain, Claris mencoba bernapas dengan benar karena perutnya mulai terasa sakit. Claris mengusap perutnya sebelum kembali berkata pada Gama dengan napas yang masih sesegukan.
"Aku gak pernah ngerasa keberatan kalo aku cuma kamu manfaatin, Kak. Aku juga gak keberatan kalo kamu gak anggep aku ini istri kamu. Aku pun gak masalah kalo sampe sekarang anak-anak juga gak ada yang suka sama aku atau gak nerima aku kayak kamu. Tapi ini bukan soal aku, Kak. Ini soal gimana sikap dan peran orang tua ke anaknya begitu pula sebaliknya. Tapi kenyataannya kamu selalu nyalahin kesalahan anak-anak kamu. Kamu bahkan gak pernah mikir atau nanya ke anak-anak apa yang mereka butuhin. Kamu selalu mikir kalo uang itu adalah penyelesaian terbaik. Ya, mungkin di beberapa hal itu membantu. Tapi enggak untuk ikatan batin orang tua dan anak. Itu perlu pendekatan bahkan sejak mereka kecil. Tapi apa kamu pernah perhatiin mereka lagi sejak kematian Mbak Riana?"
Salahnya, Claris harus membawa nama mendiang istrinya lagi hingga Gama memutuskan untuk duduk dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Claris akhirnya duduk di samping suaminya itu lalu memegang tangan Gama dengan tangan yang gemetar. "Aku tau kamu ngerasa bersalah karna kematian istri kamu. Tapi perasaan bersalah kamu itu gak lebih besar dari perasaan bersalah salah satu anak kamu, Kak."
Gama menatap Claris dengan bingung. "Apa maksud kamu, Cla?"
"Ada orang lain yang lebih ngerasa bersalah sama kematian Mbak Riana, Kak. Dan dia memendam perasaan bersalah itu tanpa tau dia harus berbagi sama siapa," perkataan Claris terhenti karena Claris kembali menangis. "Bahkan dia masih harus mikirin hal lain di samping perasaan bersalahnya itu. Seorang anak, yang seharusnya gak mikir banyak hal, ini malah dibuat mikir sejak dia kecil. Aku benci kenapa harus kalimat itu yang dia inget sejak kecil, bukan ingatan soal kebahagiaannya sama keluarganya."
Claris membalas tatapan Gama. "Roy. Anak yang aku kira diemnya karna emang dia pendiem ternyata diemnya selama ini karna dia nyimpen sesuatu, Kak. Sesuatu yang gak seharusnya dia simpen sejak kecil. Bisa kamu bandingin masa kecil kamu yang bahagia itu sama masa kecil anak kamu yang gak pernah kamu perhatiin itu, Kak?"
***
Gama langsung merasa ada yang memukul dadanya dengan sangat keras. Napasnya menjadi sesak.
"Aku gak mau nyalahin kamu lagi. Tapi tolong, Kak. Tolong. Buat sekarang, coba perhatiin anak-anak lebih lagi. Atau seenggaknya gak mudah buat nyalahin mereka atas sesuatu. Lebih baik lagi kalo kamu mau introspeksi diri kamu sebelum kamu merhatiin anak-anak kamu. Aku gak mau kalo nantinya aku gak ada, anak-anak balik lagi ke sikap mereka sebelum aku ada. Aku mau hubungan kamu sama anak-anak baik-baik aja, terlepas kalo emang kesalahan anak kamu fatal, kasih hukuman yang itu justru bisa jadi pelajaran buat mereka biar mereka gak ngelakuin hal itu lagi."
Claris kembali mengalihkan tatapannya dari Gama. "Apalagi udah ada Bara sama Mahesa, cucu-cucu kamu. Kamu sebagai kepala keluarga, harus bener-bener bisa bijak buat keputusan apapun yang nantinya bakal kamu ambil buat keluarga kamu ini."
***
Lagi gak bisa produktif banget buat nulis karna baru keinget kerjaan yang numpuk karna kemarin kena covid dan harus WFH 😣
Tapi sebisa mungkin bakal saya usahain buat up cerita Claris ya.
Terima kasih atas pengertiannya 🥺👉👈
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Mom
General FictionMenikahi pria yang dicintai ialah salah satu kebahagiaan terbesar bagi Claris. Karena terbiasa tidak diterima, Claris tak merasa hidupnya lebih berat saat dia menjalani hidupnya menjadi seorang istri dan ibu sambung dari 5 anak suaminya. Tidak satu...