Bagian 14.

8.6K 731 28
                                    

Senyum di wajah Marissa menghilang.

"Ah, kamu jadi sarapan di sini, Gama?" kata Lisa membuat Claris dan Marissa saling pandang.

Gama melihat itu. Melihat bagaimana Marissa dan Claris saling tatap entah apa maksudnya. Namun dia memilih mengangguk atas pertanyaan Lisa. "Iya, Ma. Udah pada selsai makan, ya?"

Tio menggeleng. "Nggak papa sini, kamu makan aja biar kami temenin."

Claris yang hendak bangkit untuk menyiapkan makanan, memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan diam saja. Gama yang melihat itu merasa jantungnya berdetak tak nyaman. Apa Claris benar-benar akan membuktikan ucapannya tadi malam?

"Marissa hari ini masak. Kamu mau nyobain masakannya Marissa, Gam?"

Gama menatap Marissa dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Grandma jangan berlebihan. Aku cuma masak 1 telor."

Tio terkekeh. "Tapi kami beneran seneng dan bangga sama kamu, Sayang."

Marissa terkekeh membuat Gama memilih kembali ke topik awal. "Kamu masak apa? Daddy mau coba."

Marissa tersenyum kaku saat mengambil sisa telor yang dimasaknya. "Tapi katanya keasinan. Daddy makan masakan Mama aja."

Claris diam saja saat Marissa menyinggungnya. Gama mengumpat dalam hati. Oh, jadi Claris benar-benar akan menuruti apa yang dia ucapkan?

"Bisa kamu ambilin nasi buat aku, Cla?"

Claris mengangguk. "Nasinya banyak apa dikit?"

Gama tersenyum miring. "Kayak biasa aja."

Claris langsung beranjak sedangkan Gama mencoba masakan pertama putri bungsunya itu. Gama mengangguk. "Ya, keasinan," komentarnya namun dia memilih untuk menghabiskan sisa telor itu.

Marissa melihat itu namun memilih diam dan menunduk. Dia tak pernah tahu kondisi suasana hati Gama.

Claris datang dengan juga membawa serta kopi untuk Gama. Claris sadar kalau Gama tak memerintahkannya untuk membuat kopi. Tapi Claris hanya tak ingin ditanyai oleh mertuanya.

Gama tersenyum melihat Claris juga membuatkan kopi untuknya. Lihat, Claris tak mungkin langsung berubah begitu saja.

***

Setidaknya itu yang dipikirkan Gama. Gama sama sekali tak menyangka, begitu kedua orang tuanya dan Marissa ke kamar masing-masing, Claris pun ikut bangkit hendak ke kamarnya.

Gama mencekal lengan Claris.

"Kenapa?" ucap Claris yang bingung dengan sikap Gama.

"Kenapa? Kamu bilang kenapa?"

Melihat anggukan kepala Claris membuat Gama mengumpat. "Really? Kamu yang kenapa, Cla!"

"Ya emang Cla kenapa? Cla nggak ngerasa ngelakuin sesuatu yang salah."

Gama menatap Claris semakin tajam. "Kamu mengabaikan aku dan kamu masih tanya kenapa? Menurut kamu aja? Kamu salah nggak diemin aku kayak gitu?"

Claris menatap Gama dengan heran. "Bukannya Kakak sendiri yang bilang supaya Cla gak ikut campur atau bersikap kayak istri Kakak. Jadi Cla diem pun juga salah?"

Gama menguatkan cengkeraman tangannya pada lengan Claris sebelum akhirnya menyunggingkan senyum sinis. "Ya, aku emang nggak suka kamu ikut campur. Tapi kamu juga bilang kalo kamu bakal nurutin perintah aku, kan? Apa aku udah merintahin kamu buat pergi?"

Claris memilih mengangguk saja. "Oke, Kakak mau apa? Masih ada yang dibutuhin?"

Ditawari seperti itu membuat Gama menatap Claris dari atas sampai bawah. Mendapatkan tatapan seperti itu membuat Claris menghela napasnya. Claris harus siap kalau Gama memang menginginkannya. Dengan cara apapun.

"Bisa kamu bujuk Marissa buat gugurin kandungannya?"

Bunyi suara pecahan kaca membuat Gama dan Claris menoleh ke arah suara tersebut. Di sana, Lisa menatap Gama tak percaya.

"Ka-kamu mau bu-bunuh ja-janinnya Marissa, Ga-gama?"

Gama menegang. Sial, sial, sial. Sial sekali dia. Kenapa ibunya itu harus keluar?

"Ma—"

"Kamu mau nyuruh Marissa nggak bertanggung jawab sama apa yang dia lakuin, Gama? Sama kesalahannya?"

Gama terdiam.

"Gama, jawab Mama!"

"Bu—"

Lisa langsung menatap Claris. "Cla, tolong. Biar Gama yang jawab."

Gama menghela napasnya. "Ya. Aku yang nyuruh Marissa buat gugurin kandungannya."

"Ya Tuhan, Gama! Kamu gila?! Pikiran kamu di mana?!" Lisa sudah terisak. "Mama justru mikirnya kalo Marissa yang mau gugurin kandungannya karna takut kita marah. Mama bener-bener sama sekali nggak nyangka kamu setega ini! Kamu tau kenapa Mama nyuruh Marissa tinggal di sini? Itu karna Mama nggak mau dia gugurin janinnya! Tapi kamu! Kamu malah, astaga, Gama! Otak kamu di mana!"

Lisa mengambil napas sesaknya. "Mama kira waktu Marissa masuk rumah sakit itu karna ulah dia sendiri yang nggak nerima keadaannya."

Lisa menutup wajahnya yang sudah basah karena air matanya. Dalam hati dia terus bertanya kenapa. Kenapa Gama menjadi seperti ini.

Claris menghampiri Lisa lalu memeluknya. Claris memilih diam saja. Dia tahu saat ini Lisa pasti sedang sangat syok karena telah mengetahui hal ini. Padahal sebisa mungkin Claris menutup masalah ini. Dan Marissa terlihat tak keberatan dengan itu. Namun sepertinya, ini menjadi bom atom baginya.

Lisa menatap Claris. "Ka-kamu tau soal ini, Cla?"

Claris mengangguk membuat Lisa semakin meraung.

"Kenapa kamu g-gak bilang ke sa-saya, Cla?"

Claris mengusap lengan Lisa sebelum menjawab. "Cla pikir ini bukan masalah besar karna Marissa tetep ingin pertahanin janinnya, Bu."

Lisa memegang kepalanya yang berdenyut membuat Gama akhirnya menghampiri ibunya itu.

"Ma, jangan di pikirin, Ma."

Namun perkataan Gama itu membuat Lisa meledak. "Jangan di pikirin kamu bilang? Kamu baru aja mau bikin anak kamu nggak bertanggung jawab dan rusak! Ya Tuhan, Gama! Gimana kalo nanti terjadi sesuatu saat Marissa aborsi!"

"Aku punya alasan sendiri, Ma. Tolong Mama dengerin dulu penjelasan aku."

"Ya, apa! Nama baik keluarga? Gama, nama baik keluarga itu sudah tercoreng begitu kamu menikahi Riana dalam keadaan lagi hamil! Apalagi yang mau kamu pertahanin, hah?!"

Gama tertegun mendengar itu. Ya, benar. Nama baik keluarganya sudah dia rusak puluhan tahun lalu. Lalu apalagi yang dia jaga? Memakai alasan mencoreng nama baik di saat dia sendiri yang mencoreng nama baik keluarganya.

***

Marissa menyandar pada dinding di belakangnya.

Akhirnya. Akhirnya Lisa mengetahui ini. Marissa tak dapat mendeskripsikan betapa leganya perasaannya saat ini. Walau pun Marissa merasa sedikit sakit, tapi dia benar-benar lega liar biasa. Semakin banyak yang akan mendukungnya juga membantunya dan anaknya nanti.

Tanpa Marissa sadari, air matanya mengalir.

Kali ini, Marissa benar-benar merasa bersyukur dan seolah beban yang selama ini dia rasakan perlahan mulai menghilang.

Semuanya berkat Claris. Marissa benar-benar tak tahu harus bagaimana bersikap atau berkata apa pada Claris. Claris benar-benar mengajari banyak hal. Dan itu hal yang positif baginya.

Marissa tersenyum. Marissa yakin kalau ibunya juga akan berterima kasih pada Claris.

***

Tanpa mereka sadari, ternyata ada juga seseorang yang melihat perdebatan mereka dengan tangan terkepal.

***

Well, saya usahain buat up rutin balik lg kayak dulu (setiap weekend). Tp mungkin diacak nggak bisa up 2 atau 3 cerita sekaligus dalam minggu itu ya. Diusahain up 2 part tiap minggunya.

Sampai ketemu weekend minggu depan, ya!

Happy Friyay! 🥰

Step MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang