Bagian 32.

5.2K 426 20
                                    

Marissa langsung menahan Claris begitu Claris terlihat sekali sedang menghindarinya.

"Pasti Mama belum bilang sama Daddy soal ini, kan? Ma?"

Claris menarik napasnya dan memejamkan matanya sesaat. "Ya. Saya belum bilang apapun sama Daddy kamu. Jadi bisa kamu sembunyiin hal ini dari Daddy kamu dulu, Sa?"

Marissa menatap Claris tak percaya. "Ma! Kenapa  Mama gak bilang sama Daddy?! Nanti kalo Daddy marah sama Mama lagi gimana?" Dan aku gak mau Mama terluka terus ninggalin Daddy, Ma!

Claris menggenggam tangan Marissa karena orang-orang mulai memberikan perhatian pada mereka. "Kita jangan bahas itu di sini ya, Sa."

Marisaa menatap sekelilingnya yang mulai ramai lalu kembali menatap Claris. "Kenapa? Mama takut media tahu soal ini?"

Claris diam membuat Marissa berdecak. "Kenapa Mama harus sembunyiin ini dari Daddy? Mama tau gimana waktu dulu Daddy murka sama aku dan aku hampir aja…" kalimat Marissa terhenti. Marissa menatap Claris dengan pandangan yang berkaca-kaca. "Aku gak nyangka Mama mau bela Roy sampe segininya."

Sejujurnya Marissa kecewa. Marissa merasa Claris pilih kasih terhadap Roy. Kenapa Claris tak membantunya untuk menutupi kehamilannya waktu itu?

Claris tahu kalimat terpotong milik Marissa itu. Dan Claris dengan jantung berdetak cepat, segera menggelengkan kepalanya. Dia tak tahu apa yang sedang Marissa pikirkan tentangnya karena ingin menyembunyikan kasus Roy ini.

"Ayo, kita bicarain hal ini di mobil, Sa," kata Claris lalu menarik Marissa.

***

Claris begitu terkejut saat dia dan Marissa memasuki mobil yang difasilitasi Gama untuknya, Marissa langsung mengatakan pada supirnya itu untuk pergi ke kantor Gama.

"Sa?"

"Biar Daddy tau, Ma. Buat apa Mama sembunyiin kasus Roy dari Daddy? Mau Mama sembunyiin gimana pun, Daddy pasti akan tetep tau, Ma."

"Saya nggak berniat sembunyiin kasusnya Roy, Sa. Hanya aja sekarang bukan waktu yang tepat buat Daddy kamu tau."

"Terus kapan, Ma?" Claris diam. "Apa bedanya Daddy tau sekarang atau nanti?"

Marissa mengambil tangan Claris dengan satu tangannya. "Ma, aku gak mau Daddy marah sama Mama karna Mama sembunyiin kasusnya Roy dari Daddy. Kita kasih tau Daddy sama-sama, ya?"

Claris menatap Marissa yang entah kenapa membuatnya sedikit merasa bersalah. Marissa benar. Buat apa kasus Roy dia tunda untuk memberitahukannya pada Gama? Toh, cepat atau lambat Gama juga akan tahu kalau Roy ditangkap karena kasus narkoba.

"Aku gak mau Mama ngebela Roy sampai segininya. Aku iri. Walau pun Mama juga ngebela aku dulu, tapi aku ngerasa Mama sedikit pilih kasih. Seharusnya Mama biarin Daddy tau soal masalah Roy ini baru Mama bisa ngebela Roy kayak dulu Mama ngebela aku."

Claris terkejut dengan pengakuan Marissa. Ya, Marissa tak salah kalau merasa dia pilih kasih. Claris pun merasa kalau dia berusaha keras agar Gama tak fokus pada kasus Roy yang mana saat itu tidak dia lakukan pada Marissa.

Claris langsung memeluk Marissa. "Maaf kalo kamu ngerasa begitu. Saya cuma gak mau Daddy kamu murka karna alasannya, Sa. Saya takut Roy babak belur karna Daddy kamu."

"Roy itu laki-laki, Ma, harusnya dia bisa lebih kuat kalo pun Daddy beneran mukulin dia nantinya. Biar aja dia nerima hukuman dari Daddy gimana pun bentuknya. Aku gak mau Daddy salah paham sama Mama karna masalah Roy ini."

Claris mengangguk. "Ya. Makasih karna udah cemasin saya, Marissa."

Marissa tersenyum. "Aku gak mau Mama disakitin Daddy terus. Mama bisa kok jadiin aku temen curhat Mama atau kalo Mama ada masalah bisa cerita juga sama aku. Gak cuma masalah sama Daddy atau keluarga kita, tapi buat masalah yang lain juga aku siap dengerin walau pun mungkin nanti aku gak bisa bantu Mama buat nyelsaiin masalah Mama."

Claris terkekeh. "Kamu bisa nerima saya aja saya udah sangat berterima kasih, Sa."

Ya. Terbiasa tidak 'diterima' membuat Claris senang kalau kehadirannya diterima oleh orang lain. Claris selalu bersyukur atas apa yang sudah menjadi takdirnya. Claris menjalaninya dengan begitu saja. Walau pun terkadang Claris mempertanyakan kenapa takdirnya harus begini, namun Claris kembali mencoba memposisikan dirinya di posisi orang itu. Dan dia selalu mengerti kenapa orang bersikap begini atau begitu dengan alasan yang sebenarnya masuk akal. Contohnya, istri dari ayahnya.

Wanita mana yang bisa menerima begitu saja anak hasil perselingkuhan suaminya? Perselingkuhan yang bahkan tak pernah diketahui oleh istri ayahnya itu. Tiba-tiba saat Claris berumur 5 tahun, ibunya mengantarnya ke ayahnya begitu saja lalu meninggalkannya yang memegang surat milik ibunya.

Claris bahkan masih ingat kalau Renata, istri dari ayahnya itu, pingsan saat membaca surat milik ibunya.

Suara tangisan dari Bara membuat Claris melepas pelukannya dari Marissa. Terkekeh, Claris mengusap pipi Bara yang berada di boks bayi yang memang Claris siapkan untuk kedua cucunya itu.

"Aus ya, Sayang?"

Marissa terkekeh. "Biasa, Ma. Bara kan, emang begitu dia, gampang banget rewel."

Claris mengangguk lalu menatap Marissa yang sudah cukup telaten untuk mengurus bayi-bayinya. Teringat perkataan Marissa tadi, Claris menghela napasnya.

Benar. Dia terkesan pilih kasih karena menutupi kasus Roy dari Gama. Karena dulu pun, walau Claris menduga-duga bahwa Marissa tengah hamil, dia seharusnya juga bisa membantu Marissa lebih dulu agar Marissa tak perlu terserang secara psikologis seperti  sekarang ini. Claris harusnya bisa lebih mendekati Marissa hingga Marissa bisa percaya padanya lalu Marissa takkan melakukan 'hal' yang sangat ditakutinya itu.

Tapi begitu Claris melihat gedung kantor milik Gama, Claris menjadi tak yakin. Claris benar-benar takut kalau Roy akan babak belur oleh Gama.

***

Marissa menggenggam tangan Claris yang dapat Marissa rasakan tangan itu begitu dingin dan sedikit bergetar. Marissa mengangguk begitu melihat Claris menatapnya dengan cemas.

"Jadi? Kenapa sama Roy, Sayang?"

Claris mencoba membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Ma. Udah seharusnya Daddy tau apa yang terjadi sama Roy."

Claris mengangguk dan membalas genggaman Marissa dengan erat. "Sebenernya Roy ditangkep polisi itu karna dia lagi beli narkoba, Kak. Dan saat di tes urin, Roy positif pakai narkoba."

Claris menatap Gama yang langsung memijat pelipisnya dengan dengan otot uratnya yang mulai terlihat. Melihat itu, Claris menahan diri untuk tidak menunduk.

"Narkoba? Kenapa kamu baru bilang sekarang, Cla?"

"Maaf, Kak."

Gama langsung menatap Claris. "Maaf? Kamu bilang maaf?"

Claris tetap diam. Namun Claris juga membalas tatapan Gama yang cukup menusuk baginya. Claris takut Gama mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan untuknya di depan Marissa.

Sedangkan Marissa langsung menatap Gama dengan memelototi ayahnya itu. Marissa sedang mengingatkan Gama kalau Gama tak boleh bersikap semaunya kalau ingin Claris tetap bersamanya. Dan Marissa dapat menghela napas lega karena Gama menangkap sinyal darinya setelah Gama sempat menoleh padanya.

Gama menghembuskan napasnya untuk menenangkan diri agar dia tak menyakiti Claris dengan kata-katanya. Sialan! Sialan untuk Roy yang hampir membuatnya memaki Claris!

"Jangan sepenuhnya salahin Roy untuk kesalahan yang dia lakuin, Kak," kata Claris yang mengerti kalau Gama pasti akan kembali menyalahkan anaknya, seperti saat Marissa hamil dulu. "Gimana pun juga, kamu sebagai orang tua harusnya bisa mendidik anak kamu. Semua balik lagi dengan gimana cara kamu mendidik mereka. Karna apa yang menurut kamu baik belum tentu baik juga bagi anak-anak kamu."

***

Maaf baru bisa up lagi sekarang huhu. Semoga suka!

Well saya usahain hari ini double up, ya. So ditunggu aja 😉

Step MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang