Tafia berlari entah kemana, melompati genangan-genangan air bekas hujan. Gadis itu begitu sedih, karena sudah menyakiti Gavin.
Juga dirinya sendiri.
Ia berhenti di sebuah pohon rindang di pinggir jalan, mengambil ponselnya di dalam tas, kemudian menelpon Brian agar menjemputnya.
Beberapa menit kemudian cowok itu sudah datang mengendarai motor bebeknya. Tafia langsung naik ke atas motor, setelah memakai helm yang disodorkan.
"Kita jangan langsung pulang, ya."
"Mau kemana?"
"Aku mau ngasih sesuatu sama kamu."
Tafia hanya mengangguk. Bersama Brian, ia pasrah akan dibawa kemana. Hitung-hitung nostalgia.
Meskipun, sebagian dari dirinya masih diselimuti rasa bersalah, karena tidak bisa menerima Gavin. Tafia masih bimbang akan memilih yang mana.
Brian rupanya mengajak Tafia mampir ke sebuah taman yang berada di pusat kota Bandar Lampung.
Mood Tafia sedikit membaik, ketika melihat hamparan bunga-bunga yang bermekaran di dalam taman.
Tafia menyunggingkan seulas senyum. Menyelipkan rambut panjangnya ke telinga kemudian melangkah menghampiri bunga camelia yang tumbuh paling tinggi di antara bunga yang lain. Warnanya beragam. Ada warna pink, putih, dan merah.
Kata Gavin, Tafia itu mirip bunga camelia. Cantik. Gadis itu berjongkok, menatap bunga tersebut sambil senyum-senyum sendiri mengingat ucapan Gavin.
Bunga camelia itu menggambarkan ketulusan dan kesetiaan, persis seperti Tafia.
Senyum di bibir gadis itu memudar, karena teringat dengan keadaan hatinya sekarang yang dipenuhi dengan kebimbangan. Lagi-lagi, tentang Gavin dan Brian.
Gadis itu menengok ke belakang, Brian tidak ada di tempatnya. Pergi entah kemana.
Tafia menghela napas, menyingkirkan anak rambutnya yang berjatuhan menjatuhi wajah. Memetik bunga tersebut, kemudian menghirupnya sambil memejamkan mata.
Brian sudah kembali membawa dua ice cream di tangannya. Tafia kembali berdiri, kemudian melangkah menghampiri Brian yang duduk di kursi taman.
Brian melemparkan seulas senyum ketika gadis itu duduk di sebelahnya sambil membawa bunga camelia yang baru saja ia petik.
"Aku beliin kamu ice cream." Cowok itu menyodorkan ice creamnya.
Tafia menghela napas, kemudian tersenyum sambil meraih ice cream yang disodorkan Brian.
"Aku seneng banget kamu udah putus sama pacarmu. Berarti kita itu jodoh."
Tafia hanya terdiam sambil menjilat ice cream yang baru saja ia buka dari bungkusnya.
"Padahal dulu aku selalu berpikir, bahwa memilikimu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sekarang aku bersyukur, ternyata kita dipertemukan kembali."
Tafia tampak melamun, tidak mendengarkan ucapan Brian. Pikirannya melayang-layang entah kemana.
"Jadi, sekarang kamu mau menerima cinta aku kan Taf?" ucap Brian penuh dengan ketulusan.
Tidak ada jawaban.
"Taf?"
Tafia langsung terbangun dari lamunan. "Ah, apa Yan? Maaf."
Brian menghela napas, melihat Tafia yang terlihat sedang banyak pikiran. "Berarti sekarang kita pacaran, ya."
Tafia menggigit bibir bawahnya, kemudian menunduk. Menatap bunga Camelia yang baru saja ia petik. "Aku belum bisa jawab sekarang, Yan."
"Kenapa? Apa yang membuatmu ragu kepadaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Teen FictionHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...