Plakkk!!!
Papanya menampar pipi Tafia setelah menemukan tempat persembunyian gadis mungil itu yang sudah menghilang beberapa minggu.
Tafia memegangi pipinya yang terasa ngilu. Ia merunduk, bersiap menerima amarah dari sang ayah karena sudah mempermalukan nama baik keluarga.
Di luar dugaan, Tommy tiba-tiba memeluknya sambil menitikan air mata. Tafia terkejut bukan kepalang. Kala tubuh mungilnya direngkuh oleh sang ayah.
Dari balik punggung Tommy, Tafia melihat kehadiran Def yang berdiri dengan wajah datar, sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Gadis itu menghela napas panjang, rupanya Def yang memberitahu keberadaannya kepada sang papa.
"Maafin papa, Taf, karena selama ini tidak pernah mengerti kesedihanmu." Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Membuat Tafia yang tenggelam di pelukannya memejamkan mata.
"Maafin Papa, karena tidak bisa mengenalmu dengan baik. Papa tidak pernah peduli dengan kesedihanmu."
Netra bening itu kembali menyorot ke arah Def yang menaikkan sebelah alis sambil menggindikkan bahu. Tafia menggigit bibir bawah kuat-kuat.
"Maafin papa karena langsung setuju begitu saja dengan keinginan Brian bertunangan denganmu, tanpa tahu bagaimana perasaanmu," keluh Tommy sesenggukan.
"Pa-papa ng-nggak marah sama Tafia?"
Pria paruh bayah itu menggeleng. Memeluk putrinya semakin erat. "Awalnya kami marah, kami mencarimu ke mana-mana tapi tidak ketemu. Bahkan sampai lapor polisi. Kami murka, kami sedih, kami juga khawatir sama kamu."
"Aku sudah mencemarkan nama baik keluarga," sahut Tafia dengan suara sangau.
"Enggak Tafia, keputusanmu sudah benar."
Gadis itu terbelalak. "Ma-maksudnya, Pa?"
"Brian menghamili Ririn."
Deg.
"Kandungan Ririn sudah berjalan tiga bulan. Sebelum keluarga Brian datang melamar kamu."
Bola mata Tafia hampir keluar dari tempatnya.
"Besok Ririn dan Brian akan segera dinikahkan secara kecil-kecilan."
***
Tafia hanya terdiam dengan sorot sendu ketika Brian dan Ririn sudah sah menjadi suami-istri. Sejak lama ia memang sudah curiga ada kedekatan khusus antara mereka berdua.
Brian rupanya adalah pembohong besar. Kata-katanya hanya sebuah omong kosong yang tidak bisa dipercaya. Bodoh, jika selama ini dia melepaskan Gavin hanya demi cowok bajingan seperti Brian.
Ririn tampak menunduk saat pak penghulu melafadzkan do'a. Sementara tatapan Brian sempat menyorot ke arah Tafia, dengan wajah canggung.
Tafia bersyukur karena tidak jadi bertunangan dengan Brian. Mungkin, jika pertunangan itu terjadi dan mereka menikah. Ia pasti akan lebih menderita karena harus menerima Ririn sebagai madunya.
Tidak ada yang terlihat bahagia melihat pernikahan mereka. Semua orang memasang wajah muram. Keluarga Ririn dan keluarga Brian seakan sedang mendapatkan musibah besar.
Bahkan hidangan lezat yang sudah tersaji di prasmanan tampak tidak menarik. Keluarga Brian langsung pulang. Mama Ria yang merasa terluka dengan perbuatan Ririn langsung berlari masuk ke dalam kamar. Setelah sebelumnya menutup pintu dengan keras.
Tafia ikut beranjak, membiarkan Ririn dan Brian duduk di tengah karpet dikelilingi para kerabat dan sanak-saudara. Mereka berdua tertunduk seperti seorang maling yang tertangkap basah di depan warga.
Mungkin itu adalah pelajaran setimpal yang pantas didapatkan oleh mereka berdua. Ririn yang sering berbuat dzolim kepadanya, serta Brian si pembohong besar yang suka membual soal ketulusan atas nama kesetiaan, memang pantas bersama. Ya, mereka berdua memang pantas bersama.
Langkah Tafia sudah sampai di depan kamar mama Ria. Perlahan gadis itu membuka pintu, melihat mama Ria yang duduk di depan jendela dengan posisi membelakangi, diiringi suara isak tangis dari bibirnya.
Wanita paruh bayah yang mengenakan kebaya berwarna maroon itu langsung menoleh ke belakang saat mendengar ketukan kaki Tafia yang menapak lantai.
Langkahnya terhenti, kala melihat wajah mama tirinya sudah dipenuhi oleh air mata.
Mama Ria menghela napas, kemudian merentangkan tangan. Membuat Tafia yang sempat membeku melanjutkan langkah. Memeluk sang mama yang sudah menyambutnya. Keduanya melebur dalam kesedihan.
"Yang sabar ya, Ma." Tafia mencoba menguatkan.
Mama Ria mengelus-elus punggung mungil Tafia. "Maafin, Mama."
Gadis itu terdiam. Heran, bukankah beliau sedang terluka karena anaknya hamil di luar nikah, tapi kenapa malah minta maaf kepadanya.
"Waktu itu, Brian yang menyuruh mama untuk menegur Gavin agar tidak dekat-dekat dengan kamu lagi. Gavin bahkan pernah mama usir."
Tafia yang berada di dekapan mama Ria langsung terbelalak. Bola matanya membulat sempurna.
"Mungkin ...." Mama Ria tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Lidahnya terasa kelu. "Mungkin, hal itu yang membuat Gavin frustasi, hingga akhirnya memilih putus sekolah dan melarikan diri. Mama udah jahat sama kamu, Sayang. Mama pantas kamu bunuh! Mama sudah membuat Gavin pergi untuk selama-lamanya, padahal anak itulah yang menjadi kebahagiaanmu satu-satunya."
Tafia menggigit bibir bawah kuat-kuat. Dengan kedua tangan yang terkepal.
"Kamu tidak pernah melakukan kesalahan, tapi hidupmu selalu kami dzalimi. Mama udah jahat, Ririn juga jahat, menantu mama juga tak kalah jahatnya sama kamu. Kamu pantas membalas dendammu. Mama ikhlas kamu bunuh, Tafia!"
Napas Tafia tersekat. "Mama nggak boleh ngomong begitu."
Mama Ria terdiam. Memeluk Tafia dengan hati yang terluka. Dilukai oleh putri kandungnya, serta menyesal sudah melukai hati anak tirinya.
"Semuanya sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Gavin merantau ke Jakarta atas kemauannya sendiri. Untuk mengejar cita-citanya menjadi pemain sepak bola profesional. Jadi, ini semua bukan salah mama. Mau mama pisahkan kami berdua atau tidak, Gavin akan tetap pergi."
"Karena ini semua sudah takdir."
***
Suasana di ruang makan tampak begitu canggung. Ririn tampak melamun, tidak berselera menyentuh makanannya. Sementara Brian terlihat begitu asing, karena malu bertemu Tafia. Mama Ria memilih tetap di dalam kamar saat sarapan. Beliau tidak ingin melihat wajah Ririn yang sudah melukai perasaannya sebagai seorang ibu.
Papa Tafia hanya melahap makanannya beberapa sendok, menenggak segelas air putih kemudian beranjak dari duduk. Bersiap-siap berangkat ke kantor tanpa berpamitan. Hanya menepuk-nepuk puncak kepala Tafia dengan rasa sayang.
Beberapa menit setelah kepergian sang papa, Tafia mendorong kursi. Pergi dari hadapan Brian dan Ririn yang membisu dengan penyesalan masing-masing.
Sesampainya di kamar, Tafia mendengar suara pertengkaran Brian dan Ririn. Mereka berdua saling menyalahkan, padahal sama-sama salah.
Tafia menghela napas. Kemudian menghampiri ponselnya yang berkedip di atas nakas. Tanda ada pesan masuk.
Bibir mungilnya menyunggingkan seulas senyum setelah mendapat pesan dari Def. Cowok gondrong itu mengajaknya keluar nanti siang. Akhirnya ada kegiatan yang membuat dirinya bisa keluar dari rumah yang terasa pengap ini.
Kabar yang lebih menggembirakannya lagi. Raffa pulang dari New York karena kampusnya sudah memasuki libur semester. Pun juga dengan Rifki yang sudah pulang dari Turki. Mereka akan sama-sama menonton Rijal bertanding di stadion.
Def juga ingin mengajak adik Gavin, Aisya, ikut nonton di stadion. Mereka akan bernostalgia, sembari mengenang kehebatan mendiang Gavin dalam bermain sepak bola.
Bersambung...
Yuk, semangat 5 part menuju ending!
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
أدب المراهقينHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...