500 komentar baru next
***
Tafia mengucek-ngucek matanya setelah terbangun dari tidur. Ia langsung membuka selimut, kemudian bersender di kepala ranjang dengan tubuh yang masih terasa lemas. Gadis mungil itu tampak kebingungan saat menyadari dirinya sudah berada di atas ranjang. Padahal seingatnya tadi, ia dikunci di dalam toilet oleh papanya. Seragam sekolah basah yang ia kenakan juga sudah terganti dengan piama putih bercorak Doraemon berwarna biru.
Gadis itu tidak sadar jika sedari tadi ada seseorang yang mengamatinya di meja belajar. "Kalau seandainya mama Ria tidak sayang sama kamu, Papa pasti akan biarin kamu mati di dalam toilet," ucap papanya ketus.
Tafia merapatkan bibir sambil mencoba meraih segelas air putih yang ada di nakas dengan susah payah. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Tangannya gemetar.
"Awas kalau kamu bilang yang aneh-aneh sama mama kamu," ancam papanya kemudian keluar dari kamar.
Tafia memejamkan mata, kemudian bulir-bulir bening mulai menetes membasahi wajah. Tidak hanya kejam, papanya bahkan menginginkan dirinya mati saja.
Tafia mulai terisak-isak. Tak adakah tempat yang nyaman untuk menenangkan hati ketika rumahnya sendiri menjadi neraka bagi dirinya.
***
Hari ini adalah hari senin. Upacara bendera sebentar lagi akan dilaksakanan. Semua murid mulai bersiap-siap menuju ke lapangan.
Salah seorang gadis menyusuri koridor dengan wajah pucat. Matanya terlihat sembab, karena menghabiskan malam dengan tangisan.
Gadis mungil itu menghampiri beberapa teman sekelasnya yang masih bergerumul di depan kelas. Namun, mereka langsung melempar tatapan sinis, kemudian beranjak pergi meninggalkan Tafia sendiri.
Tafia menatap nanar punggung mereka yang mulai menjauh. Entah, kebencian model apa yang telah ditularkan Ririn, sehingga semua teman-teman sekelasnya tidak mau mengakui keberadaannya.
Ririn baru saja keluar dari kelas bersama Selly. Gadis itu tersenyum miring setelah melihat keberadaan Tafia di depan kelas. "Pas banget. Sini mana topi lo, gue lupa bawa topi," ucapnya sambil menyerobot topi abu-abu di kepala Tafia dengan cepat.
"Ririn, jangan!" Tafia mencoba merebutnya, tapi langsung dihalangi oleh Selly.
"Pelit banget, sih!" celetuk Ririn sewot sambil memakai topi Tafia ke kepalanya.
"Aku takut dihukum karena nggak bawa topi," jawabnya dengan nada getir.
"Derita loh!" Ririn terkekeh, kemudian berjalan menuju ke lapangan bersama Selly yang tersenyum miring.
Tafia lagi-lagi hanya bisa menggigit bibir sambil meremas seragam sekolahnya, cemas. Bingung harus bagaimana.
Kalau pergi ke lapangan, pasti akan dihukum karena tidak membawa topi saat upacara. Jika membolos, ayahnya pasti akan murka karena mendapat surat teguran. Beli topi di ruang koperasi, uang sakunya buat jajan saja kurang karena direbut Ririn setelah usai sarapan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Teen FictionHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...