Raffa dan Chelsea sudah berada di depan makam ayahnya. Beberapa hari yang lalu sebelum ayahnya dieksekusi mati, beliau berwasiat untuk minta didoakan oleh anak-anak yatim.
Kini mereka berdua kembali datang ke makam ayahnya. Membersihkan tempat peristirahatan terakhir sang ayah. Chelsea menaburi bunga-bunga, sementara Raffa mencabuti rumput-rumput kecil yang mulai tumbuh.
"Assalamu'alaikum."
Raffa dan Chelsea langsung menoleh ke arah suara. Mendapati Gavin yang berdiri sambil memegang sebuah buku kecil di tangannya. "Wa'alaikumsalam."
"Gavin?" Raffa tampak terkejut.
Gavin tersenyum kemudian duduk di sebelah Raffa. "Orang meninggal amalannya akan terputus, kecuali tiga perkara. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh dan Solehah. Pahalanya akan terus mengalir dengan tiga perkara itu."
"Ga..., Gavin?" gagap Raffa menatap sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca.
"Anak yang soleh itu yang selalu mendoakan orangtuanya. Lo tau, Raf, doa anak yang soleh menembus langit."
Raffa menelan ludahnya dengan susah payah menatap Gavin.
"Kita doain bokap lo. Gue bacain surah Yasin." Ternyata buku kecil yang dipegang Gavin adalah surah Yasin.
Raffa akui jika Gavin adalah anak yang rohis. Berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Gavin juga orang yang tidak pernah pilih-pilih saat berteman. Raffa selalu menganggap Gavin adalah orang paling beruntung di dunia karena masih peduli dengan agamanya walaupun pergaulannya cenderung bebas.
Chelsea tersenyum haru melihat Gavin melantunkan ayat-ayat pada surah Yasin untuk mendoakan ayahnya. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang peduli pada agama. Andaikan ia punya suami seperti Gavin, pasti hidup ini akan lebih bermakna. Ah, indahnya punya imam yang soleh yang bisa membimbing kita ke syurga bersama kaum mukmin yang beriman.
Akhirnya, Gavin selesai membaca surah Yasin dan diakhiri surah Al-fatihah dikhususkan untuk mendiang Ferdiansyah.
"Terimakasih, Vin, lo sahabat gue yang terbaik." Raffa merangkul tubuh Gavin.
Gavin tersenyum ke arah Raffa. "Gue sekalian mau pamit."
Raffa terlihat bingung. "Ah, kemana?"
Gavin menunduk beberapa saat. "Gue putus sekolah."
Raffa terkejut bukan main. "Kenapa? Lo udah kelas 12, Vin?"
"Kasihan bokap gue nggak punya biaya." Gavin tersenyum getir.
"Gue bakalan biayain sekolah lo. Nyokap gue pasti setuju, kok. Iya, kan, Kak Chelsea?" Chelsea mengangguk menjawab ucapan Raffa.
"Enggak. Gue nggak ingin nyusahin orang lain."
"Lo nggak nyusahin gue, Vin, gue bakalan minta nyokap gue buat melunasi biaya sekolah lo," ucap Raffa ngotot.
Gavin menggeleng. "Terimakasih, Raf, tapi nggak usah. Gue besok mau merantau ke Jakarta. Gue mau cari uang buat meringankan beban orangtua gue."
Raffa terdiam menatap nanar wajah sahabatnya itu.
"Sekolah yang bener, Raf. Lo pasti jadi orang sukses." Gavin menyemangati Raffa. "Masih ada Rifki di sekolahan. Jadi, lo nggak perlu merasa kesepian."
Rijal, Def, dan Gavin sudah lebih dahulu keluar dari SMA Mandiri. Itu adalah sebuah pukulan telak untuk Raffa. Akankah cita-cita mereka untuk sukses bersama-sama bisa tercapai dengan keadaan seperti ini?
***
Drrrttt... Drrrtttt...
Ponsel Raffa berdering, membuat Lia langsung menghentikan ceritanya. Raffa sempat ragu mengangkat telepon tersebut, tapi Lia memberi isyarat agar Raffa segera mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Teen FictionHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...