Setelah mengantarkan Tafia, Gavin langsung melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Membelah jalan raya yang padat merayap, melesat kencang dan meliak-liuk melewati mobil.
Baru separuh perjalanan, motor Gavin terseok-seok karena ban belakangnya bocor. Oleng, nyaris terjatuh. Cowok itu menghela napas, kemudian mengerem motornya di pinggir jalan.
Setelah turun, Gavin langsung mengecek keadaan ban motornya. Terdapat paku jamur yang tertancap pada permukaan ban. Cowok itu langsung mencabutnya. Kemudian memijat-mijat kening. Pusing.
Kalau dipaksa pasti ban dalamnya akan hancur. Namun, ia harus bergegas. Kurang 20 menit lagi pasti akan telat.
Gavin mendengkus kesal. Akhirnya ia mendorong motornya ke tempat tambal ban terdekat.
Sementara itu di basecamp tempat pemain-pemain Altoya FC berkumpul. Rijal tampak kebingungan menelpon Gavin yang belum ada kabar. Sudah 20 panggilan, tapi tak kunjung mendapat respon.
Seluruh pemain Altoya FC pun menunggu dengan harap-harap cemas. Kehadiran pilar utama klub kebanggaan mereka.
Rijal sampai menanyakan keberadaan Gavin di grup Alister yang beranggotakan 200 orang lebih. Kemudian melirik ke arah pelatih yang sudah kesikan kali melirik jam tangannya.
"Gavin lo di mana?" desis Rijal sambil menggigit bibir. Mengetuk-ngetukkan jari ke layar ponselnya. Gelisah.
Ting!
Ada pesan balasan dari grup Alister, yang dikirim oleh salah satu anak kelas satu.
Gue liat kak Gavin bonceng Tafia di jl.Dahlia
Rijal memicingkan mata. Membaca pesan tersebut. Rahangnya mengeras, dengan tangan yang meremas-remas ponsel. Entah kenapa emosi cowok itu tiba-tiba meluap.
"Coach, kita berangkat sekarang aja." Rijal beranjak dari duduk.
"Gavin gimana?" Coach Agung terlihat cemas, masih berharap Gavin datang. Walaupun waktu keberangkatan mereka mulai menipis.
"Dia punya kepentingan lain yang lebih penting," jawab Rijal malas, kemudian masuk ke dalam mobil bus dengan wajah kesal.
Tujuh belas pemain lainnya, termasuk Rifki ikut memasuki mobil dengan wajah lesu. Mereka mendadak down karena salah satu pemain andalan mereka harus absen di pertandingan yang cukup penting.
Coach Agung menghela napas berat, kemudian mencoret nama Gavin pada papan strategi yang beliau bawa. Pria baruh bayah itu harus mengganti line up dan strategi permainan karena absennya Gavin.
Bus mulai melaju meninggalkan basecamp. Seluruh penumpang di dalamnya tampak patah semangat karena Gavin tidak datang-datang. Hanya Rijal yang tahu persis alasan Gavin tidak hadir. Entah, benar apa tidak yang jelas hal tersebut tidak bisa lagi ditolerir.
Setelah beberapa menit bus itu pergi, tampak dari kejauhan seorang cowok berlari tergesa-gesa menuju ke basecamp Altoya FC. Demi memburu waktu Gavin terpaksa berlari karena motornya masih ditambal.
Dengan napas terengah-engah cowok itu membungkuk. Bulir-bulir keringat berjatuhan ke bawah. Kedua lutut Gavin ambruk. Bersamaan dengan tangan yang menyangga tubuh.
Ia memejamkan mata, kemudian meninju tanah dengan tangannya yang terkepal. Gerbang basecamp sudah tertutup. Itu artinya mereka sudah berangkat.
Gavin mengambil ponselnya yang ada di saku celana. Kemudian menghela napas kasar, setelah melihat 20 panggilan tak terjawab dari Rijal. "Maafin gue tamen-temen," lirihnya.
***
Perhatian seluruh pasang mata langsung menyorot ke arah siswi berhijab yang berjalan menyusuri koridor. Mereka semua langsung berbisik-bisik sambil melemparkan tatapan sinis.
Tentu saja hal itu membuat Tafia merasa tidak nyaman. Andai bukan mama Ria yang menyuruhnya, mungkin Tafia lebih memilih putus sekolah daripada menginjakkan kakinya di tempat ini lagi.
"Ada gadis muslimah datang," celetuk salah satu siswa saat Tafia memasuki kelas.
"Penampilannya aja muslimah, tapi kelakuannya kayak setan."
"Iya, denger-denger pas nggak pernah berangkat kemarin dia tinggal di rumah om-om."
"Baru berangkat lagi beberapa hari, kemarin udah langsung bolos aja. Nggak sayang apa, padahal dia itu anak pintar?"
Brakk!!!
Raffa yang duduk di bangku paling belakang tiba-tiba menggebrak meja dengan kasar. Cowok itu merasa risih mendengar cibiran-cibiran dari teman sekelasnya yang dilayangkan kepada Tafia.
"Kalian itu bego apa gimana, sih?!" Cowok itu beranjak dari duduk.
"MASUK AKAL NGGAK, CEWEK POLOS YANG DIFITNAH AJA CUMA BISA DIEM, MAU NGLAKUIN HAL SERENDAH ITU?" teriak Raffa dengan suara lantang.
"BAGAIMANA MUNGKIN, CEWEK POLOS YANG MAU MENGGUNAKAN HIJAB KALIAN TUDUH SEBAGAI PELACUR?"
"BAGAIMANA MUNGKIN, CEWEK YANG HANYA BISA MENANGIS SAAT DIBULLY KALIAN ANGGAP MELAKUKAN HAL YANG TIDAK-TIDAK?" Raffa menunjuk-nunjuk Tafia dengan rahang yang mengeras.
"LALU, KALIAN YANG BERPAKAIAN MINIM. KELAKUANNYA KAYAK SETAN, GEDE BACOT DOANG PANTASNYA DISEBUT APA??"
"TAFIA SELALU SALAH DI MATA KALIAN!! KALAU KALIAN NGGAK SUKA SAMA TAFIA MENDINGAN KALIAN BERANTEM SAMA GUE AJA LAH ANJING!! PUSING GUE LAMA-LAMA!!" Cowok itu mendorong meja di depannya. Kemudian keluar dari kelas sambil mengacak-ngacak rambutnya. Pikirannya yang sedang kacau kian bertambah semrawut.
Tafia yang baru saja duduk di bangkunya hanya menutup bibir rapat-rapat. Tak peduli dengan cemohan-cemohan yang dilontarkan oleh teman-temannya.
Biarkan dirinya dituduh semau mereka. Biarkan manusia-manusia di sekelilingnya berprasangka buruk kepadanya. Asalkan hatinya tetap mantap berhijrah. Asalkan Allah ridho kepada dirinya. Lagipula, tidak ada manusia yang bisa selamat dari lidah manusia.
Ririn yang baru datang memasuki kelas dengan wajah masam langsung duduk di sebelah bangku Tafia yang kosong.
"Lo bener-bener sukses bikin gue menderita tau nggak?" bisiknya kesal.
"Sekarang mama lebih sayang sama lo daripada gue."
Tafia hanya merunduk, sambil menghela napas.
"Gue benci tahu nggak sama lo!" Ririn mengusap-usap wajahnya kasar. Kemudian beranjak dan menarik Tafia keluar dari kelas. "Lo ikut gue!"
"Mau kemana, Rin?" Tafia kebingungan saat Ririn menariknya keluar dari kelas. Beberapa anak di dalam kelas, mengikuti mereka dari belakang.
Tepat di atas tangga, mereka berdua berhenti. Tafia terpaksa memberi perlawanan. "Kamu mau bawa aku ke mana?"
"Gue mau bawa lo ke ruang BK. Gue pengen lo ngaku ke guru BK kalau lo terlibat kasus prostitusi online pas absen beberapa minggu kemarin."
Tafia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak mau. Aku nggak pernah nglakuin itu."
"Lo mau bilang kaya gitu atau lo gue bunuh!" Ririn melotot tajam.
Tafia tetap menggeleng.
"Sialan lo!" Ririn menjorokkan Tafia sekuat tenaga hingga gadis itu jatuh menggelinding di tangga.
Kening Tafia membentur beberapa anak tangga hingga mengeluarkan darah. Beberapa murid berteriak histeris. Gadis malang itu tergletak tak berdaya di bawah tangga. Kemudian tak sadarkan diri.
Ririn membekap mulut melihat Tafia langsung buru-buru dibopong oleh beberapa siswa untuk diberi pertolongan pertama. Ririn benar-benar tidak menyangka, emosinya sampai menyelekai Tafia sejauh itu.
Bersambung...
Apa komentar kalian tentang part ini?
Harapan kalian kelanjutan cerita ini seperti apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Novela JuvenilHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...