Tafia menelan ludahnya dengan susah payah setelah mengintip putra sulung bude Mundasri yang baru pulang sekolah. Ia sama sekali tidak menyangka jika anak laki-laki bude Mundasri adalah Gavin. Dunia ini memang sempit sekali. Pantas saja ketika melihat senyuman yang terlukis indah di bibir Aisya dan bude Mundasri, Tafia langsung teringat dengan seseorang. Ternyata seseorang itu adalah Gavin. Garis wajah mereka memiliki kemiripan.
Gadis itu masih mengintip sambil membekap mulutnya yang ingin menjerit. Melihat Gavin yang dipukuli oleh ibunya sendiri karena bolos sekolah sampai pulang larut malam. Aisya yang berada di sebelahnya meremas-remas kusen pintu, karena kasihan dengan sang kakak.
Ketika melihat Gavin dipukuli, Tafia teringat dengan dirinya sendiri. Bedanya pukulan dari ibu Gavin, adalah pukulan kasih sayang, dilakukan karena tidak ingin anaknya mengulangi kesalahan yang sama. Sementara pukulan dari ayahnya adalah murni kekerasan.
Bude Mundasri membanting gagang sapunya yang patah ke lantai. Bisa dibayangkan betapa kerasnya pukulan di punggung Gavin, sampai gagang sapu yang digunakan untuk memukul patah menjadi dua.
Ibu Gavin masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak. Kecewa dengan Gavin.
Gavin masih membeku di tempatnya sambil merunduk. Kedua tangannya terkepal kuat. Pandangannya kembali tertuju ke arah Tafia yang mengintip di ambang pintu kamar Aisya.
Tafia perlahan melangkah menghampiri Gavin. Cowok itu hanya mendongak dengan tatapan datar. Mengamati Tafia yang beringsut mendekatinya.
"Kamu anaknya bude Mundasri?" Tafia berjongkok di depan Gavin, matanya tampak berkaca-kaca.
Gavin menghela napas, kemudian merunduk.
"Aku kerja sama bude Mundasri, karena nggak punya tempat tinggal. Jadi, untuk sementara waktu aku tinggal di sini. Aku sama sekali nggak nyangka kalau beliau adalah ibu kamu," jelas Tafia canggung.
Gavin beranjak dari posisinya.
"Tidur, udah malem," ujar cowok itu kemudian menuju ke belakang untuk mandi.
Sebenarnya Gavin begitu senang karena bisa tinggal satu rumah dengan Tafia. Namun, ia memilih menyembunyikan euforia kebahagiaannya karena momennya tidak mendukung.
Aisya masih mengamati mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya. "Kak Tafia kenal sama kak Gavin?" tanyanya polos.
Tafia langsung menoleh ke arah Aisya dengan wajah kikuk. Tak lama kemudian gadis itu mengangguk.
Aisya tersenyum. "Kak Tafia sama kak Gavin mirip."
"Mirip?" Tafia menelan ludahnya dengan susah payah.
Mirip? Apa aku jodohnya Gavin? Kata orang-orang zaman dulu kalau wajahnya sedikit mirip berarti jodoh.
***
Gavin meringis kesakitan saat luka bekas pukulan dari ibunya tersiram dengan air saat mandi. Cowok itu menggigit bibir kemudian buru-buru memakai handuk dan keluar dari kamar mandi.
Tafia langsung terbelalak saat melihat Gavin bertelanjang dada hanya dengan memakai handuk. Rambut dan sekujur tubuhnya terlihat basah, membuat Tafia mematung beberapa saat.
Kontrakan milik keluarga Gavin memang terbilang sempit. Hanya ada satu kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Dan, sekarang Tafia sedang berada di dapur memasak makanan. Gavin langsung buru-buru berlari ke kamarnya karena malu dilihat oleh Tafia.
Tafia menghela napas, menetralkan jantungnya yang berdegup-degup kencang. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya memasak mie rebus.
Ia memang sengaja memasakannya untuk Gavin, karena tidak ada makanan sama sekali di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Fiksi RemajaHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...