Komen sebanyak-banyaknya ya, biar makin semangat updatenya
***
Gavin melangkah sambil menggandeng tangan Aisya yang melompat-lompat sambil bersenandung ria.
Karena motor Gavin sudah dijual untuk membayar hutang. Mereka berdua harus berjalan jauh beberapa kilometer menyusuri trotoar. Menjemput sang ayah yang akan pulang dari tanah perantauan di terminal.
Saking bahagianya Aisya terus menyenandungkan lagu-lagu dangdut yang sedang viral di sosial media. Entah Aisya bisa hafal lagu itu darimana. Mungkin, para pelanggan yang sering makan di tempat ibunya suka menyetel musik tersebut.
"Hush, nyanyi sholawat sana!" tegur Gavin melotot ke arah Aisya.
Aisya mengerucutkan bibir, kemudian melantunkan sholawat Allahul Kahfi Rabbunal Kahfi dengan riang. Gavin tersenyum melihat tingkah lucu adiknya. Walaupun hatinya sedang terluka parah.
Ia seperti lilin yang membakar dirinya sendiri. Cintanya kepada Tafia bagaikan nyala api yang tidak bisa dipadamkan. Semakin dipisahkan, justru rasa itu semakin dahsyat kekuatannya.
Garis takdir menghempaskan dirinya ke dalam jurang penderitaan. Tembok kokoh mulai dibangun untuk memisahkan dirinya dengan sang kekasih. Gavin tidak membenci siapapun. Mama Ria, Brian, Ririn, atau Tafia. Ia justru membenci dirinya sendiri karena tidak ditakdirkan memiliki Tafia.
Dengan ini pasukan tersakiti meminta Gavin untuk menyerah. Putar balik arah, karena mereka harus berpisah.
Sesampainya di terminal bus antar kota. Gavin dan Aisya duduk di depan salah satu warung penjual makanan. Menanti puluhan penumpang turun dari beberapa bus yang baru saja datang. Sementara kerumunan calon penumpang yang menunggu, mulai bergegas masuk ke dalam mobil. Mencari kursi ternyaman untuk diduduki.
Sosok yang dinanti-nanti akhirnya muncul. Memakai kaos dekil berwarna putih sambil mencangklong tas ransel di pundaknya. Wajah pahlawan yang mulai menua itu terlihat semringah.
Aisya langsung berlari menghampiri sang ayah. Gavin tak mampu menghentikan gerakan lincahnya. Gadis kecil itu meliak-liuk melewati kerumunan orang di terminal.
"Bapak, Aisya kangen!" Aisya langsung melompat ke pelukan pria yang rambutnya sudah mulai beruban itu.
"Ya ampun anak Bapak udah gede." Raffi, ayah Gavin, mengecup pipi Aisya dengan penuh kerinduan. Gavin tersenyum melihat ayah dan adiknya yang saling melepas rindu.
Setelah menurunkan tubuh Aisya dari gendongan, Raffi beralih ke arah Gavin.
"Gavin, kamu tampak seperti ayah ketika masih muda dulu," sapa Raffi kemudian memeluk Gavin dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Maaf, kita jemput bapak cuma jalan kaki," ucap Gavin merasa bersalah.
Senyum di bibir Raffi langsung memudar. Hembusan napas berat keluar dari bibirnya. "Nanti kalau punya rezeki. Bapak beliin lagi kamu motor baru."
"Nggak usah, Pak," tolak Gavin sambil menggelengkan kepalanya. "Gavin mau putus sekolah saja, ikut kerja bapak jadi kuli bangunan di luar kota."
"Kamu ini ada-ada saja. Lebih baik kamu fokus belajar dan mengembangkan bakat."
"Gavin pengen langsung kerja nyari uang."
"Bagaimana cita-citamu sebagai pemain bola?" Raffi merangkul tubuh Gavin dan menggandeng tangan Aisya, mengajak mereka berjalan meninggalkan terminal.
"Bapakmu ini pulang cepat-cepat karena pengen nonton kamu main di turnamen."
Gavin tertunduk lesu. Pedih rasanya jika mengingat bahwa dirinya sudah didepak dari tim.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Ficção AdolescenteHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...