Comment sebanyak-banyaknya ya, biar makin semangat updatenya
****
Sejak tadi Tafia merasa tidak nyaman, rasanya ingin marah-marah. Kehadiran Brian bahkan tak mampu membuat suasana hatinya membaik. Kening gadis itu dibalut perban, pipi dan lengannya tampak memar-memar. Serta sekujur tubuh yang terasa pegal.
Mungkin, gadis itu kesal karena Ririn terbebas dari hukuman. Tafia yakin bahwa Ririn sudah menyuap seluruh saksi mata yang melihat kejadian.
Tafia ingin pergi saja dari rumah ini. Tinggal lagi di rumah Gavin. Berada dalam satu atap dengan seorang penjahat membuat hidupnya tidak tenang.
Brian keluar dari kamarnya, setelah Tafia abaikan beberapa jam. Suasana hatinya sedang memburuk, malas bercerita ataupun menggerakkan tubuh walau hanya sekedar menggerakkan mulut.
Cklek!
Pintu terbuka, menampilkan siluet seorang cowok tampan berwajah datar. Kedua tangannya diselipkan pada saku celana, melangkah dengan tenang, lalu berdiri di hadapan Tafia. Dengan gaya yang terkesan cool.
Senyum di bibir Tafia langsung merekah. Ternyata Gavin adalah moodboster terbesarnya. Buktinya, suasana hati Tafia langsung membaik. Tanah gersang dan tandus itu dijatuhi oleh hujan lebat. Bunga-bunga yang layu kembali bermekaran. Rumput dan tanaman kembali tumbuh dengan ceria. Pohon-pohon besar menari di tengah guyuran hujan. Begitulah euforia kebahagiaan Tafia.
"Soryy, aku jengukin kamu tapi nggak bawa apa-apa," ucap Gavin dengan suara serak.
"Emangnya harus bawa apa?" Tafia menaikkan sebelah alis.
"Biasanya kalau orang sakit dibawaain makanan atau buah-buahan."
"Aku nggak minta apa-apa dari kamu. Kehadiranmu saja itu sudah cukup." Tafia tersenyum hangat.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu pinter banget godain aku?" Gavin mengerutkan dahi.
"Ketularan kamu," celetuk Tafia.
Akhirnya Gavin merekahkan senyuman. Sejak kehadirannya beberapa waktu yang lalu. Menularkan kebahagiaan yang tergambar dalam ekspresi wajah Tafia.
"Kamu percaya sama aku kan?" tanya Tafia penuh harap.
"Percaya apa?"
"Kalau Ririn yang jorokkin aku sampai jatuh dari tangga." Gadis itu mengerucutkan bibir.
Gavin mengangguk datar.
Tafia kembali tersenyum. "Selalu dan selalu. Cuma kamu aja yang mau percaya sama aku. Nggak ada satu orang pun yang percaya kalau Ririn yang jorokkin aku. Bahkan, anak-anak yang berada di tempat kejadian sekalipun."
"Puncak kepimilikan tertinggi adalah kepercayaan. Aku selalu percaya sama kamu."
"Karena kamu cinta sama aku?" sela Tafia cepat.
Gavin menggeleng pelan. "Karena aku adalah kamu. Kalau aku tidak percaya sama kamu, berarti aku juga tidak percaya pada diriku sendiri."
"Kamu memang yang terbaik dari yang terbaik." Tafia melemparkan seulas senyum.
"Aku adalah luka dari yang terluka."
"Kok gitu?" Tafia mengernyit bingung.
"Aku selalu bisa merasakan apa yang kamu rasakan." Gavin menghela napas berat.
Tafia tertawa, membuat Gavin kembali menyunggingkan senyum manisnya.
"Pacarmu ada di luar, sama Ririn."
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Fiksi RemajaHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...