Tafia tumbuh di tengah keluarga yang tak pernah benar-benar menginginkannya. Hari-harinya dipenuhi rasa serba salah, terlebih karena ia harus berbagi kelas dengan saudara tiri yang tak henti-hentinya membully dirinya.
Namun, kehidupan sekolahnya men...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Comment-comment dong, biar semangat updatenya...
***
"Darimana kamu?!" bentak papa Tafia setelah gadis itu pulang dengan seragam yang kotor. Tafia hanya menunduk, tidak berani menjawab yang sejujurnya karena di meja makan ada Ririn dan mama tirinya.
"Pasti baru main nggak jelas itu, Pa. Dia kan cewek keren di sekolah, bergaulnya sama cowok-cowok berandalan. Dia pasti udah terpengaruh sama pergaulan bebas." Ririn memprovokasi.
Mata Tafia mulai berkaca-kaca mendengar tuduhan keji Ririn. Padahal perempuan itu sendiri yang menyerahkan dirinya kepada geng Evos untuk dijadikan sandra. Tafia tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi karena itu percuma. Ayahnya tidak mungkin mempercayainya.
Plakkkk...
"Anak kurang ajar kamu!"
Tafia hanya bisa menangis saat tamparan sang papa mendarat tepat di pipinya.
"Ternyata kelakuan kamu kayak gitu di belakang papa? Mau jadi apa kamu?" Papanya begitu marah besar. Mama Ria beranjak dari duduk untuk menenangkan papa Tafia.
"Sudah, Pa, sabar. Kasihan Tafia capek baru pulang sekolah."
"Diam, Ma, anak seperti dia harus dikasih pelajaran!" Papa Tafia melotot tajam. Tafia memegangi pipinya sambil menatap sang papa dengan berlinangan air mata.
"A ... Aku nggak kayak gitu, Pa," ucap Tafia terbata. Ririn yang duduk di meja makan hanya memutar bolamatanya.
"Papa tanya kamu darimana?!" bentaknya.
Tafia melangkah begitu saja meninggalkan sang papa yang masih belum puas memarahinya.
"Hey, berani kurang ajar kamu!" teriak papanya. "Mulai sekarang kamu tidak akan pernah papa beri uang saku! Biar uangnya tidak dipakai buat keluyuran kemana-mana."
Tafia menutup pintu dengan kasar. Kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Gadis itu menangis terisak-isak sambil memukul-mukul kasur. Lihatlah. Bahkan papanya sendiri tidak percaya kepadanya.
Rasanya ingin sekali mengakhiri hidup daripada harus diperlakukan seperti itu. Ririn selalu membuatnya menderita dan papanya tidak pernah mempercayainya. Lalu, untuk apa dia hidup? Sampai kapan dia harus menderita seperti ini.
Cklek...
Pintu terbuka. Mama Ria masuk membawa piring berisi nasi dan lauk untuk Tafia. "Sayang, makan dulu, yuk," ajak perempuan paruh bayah itu sambil duduk di tepi ranjang.
Tafia hanya terdiam dengan wajah sembabnya. Bibirnya masih mengeluarkan isakan.
"Kamu pasti laper." Mama Ria menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Tafia.