Follow ig : @nurudin_fereira
______
Gadis mungil itu terus melangkah tanpa tujuan. Menyusuri trotoar ditemani oleh sinar lampu di pinggir jalan yang tidak terlalu terang.
Punggungnya masih terasa nyeri karena dipukuli oleh papanya. Gadis itu terus meyakinkan diri bahwa lebih baik jadi gelandangan daripada menyusahkan orang lain.
Sialnya, ponsel Tafia ketinggalan di kamar. Gadis itu menghela napas, berusaha ikhlas menerima berbagai macam cobaan yang dihadapi.
Karena terlalu lelah, Tafia duduk di sebuah kursi kayu panjang di pinggir jalan. Menyeka keringat di kening, sambil mengamati beberapa mobil dan motor yang hilir-mudik di depannya.
Gadis itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa potong pitza sisa-sisa dari keluarganya, yang ia ambil sebelum kabur dari rumah. Pitza tersebut Tafia bungkus dengan koran dan ia masukkan ke dalam plastik hitam.
Kebetulan perutnya sedang keroncongan, gadis mungil itu melahap pitza tersebut dengan lahap. Masih terasa lapar, walaupun sudah menghabiskan dua potong.
Namun, Tafia memilih menyimpan dua potong pitza yang tersisa. Untuk sarapan besok pagi. Pasalnya gadis itu sama sekali tidak membawa uang sepeserpun.
Tafia kembali melanjutkan langkahnya setelah meneguk sebotol air mineral hingga habis seperempat.
Terus melangkah. Mencari tempat istirahat yang nyaman. Setidaknya, untuk tidur malam ini saja.
Awan mendung mulai bergerumul membungkus bintang-bintang yang bertabur di langit. Membuat malam semakin dingin dan mencekam.
Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, disertai kilatan petir yang seolah ingin membelah langit. Tafia buru-buru berlari mencari tempat berteduh. Sebuah halte busway yang berada di pinggir jalan menjadi pilihan.
Sayang sekali, di sana ada beberapa pemuda berambut gondrong yang juga ikut berteduh. Beberapa dari mereka memegang botol minuman keras. Ada yang bertatto, adapula yang memakai rantai di pinggangnya.
Tafia menelan ludahnya dengan susah payah, saat ketujuh pria itu menatapnya secara serempak. Dengan tatapan penuh minat.
Hujan semakin deras, Tafia tidak mungkin nekad pindah tempat, kalau tidak ingin pakaiannya basah kuyup kehujanan.
"Sendirian aja, Neng?" tanya salah seorang pemuda yang mulai mendekat.
"Mau kemana malam-malam begini?" lanjutnya sambil membelai rambut panjang Tafia.
Tafia meremas-remas jemarinya, ketakutan. Tercium bau alhakohol yang baru saja ditenggak oleh cowok itu.
"Ikut kami aja, yuk!"
Tafia menginjak kaki cowok berambut gondrong itu setelah melihat teman-temannya mulai berdiri menghampirinya. Kemudian, cepat-cepat berlari menembus lebatnya hujan.
Kaos panjang berwarna oranye dan celana jeans yang ia kenakan tampak basah kuyup. Ketujuh preman tadi tidak membiarkan Tafia lolos begitu saja. Dengan langkah lebar mereka berlari mengejar.
"Woy, berhenti!"
"Jangan lari sayang!"
"Sayang sini, ikut kami!"
Jalan yang Tafia lalui mulai digenangi oleh air, Tafia terus berlari sekuat tenaga. Menangis, karena takut tertangkap.
Tidak ada mobil yang mau berhenti untuk menolong. Hujan semakin lebat, membuat pandangan Tafia sedikit mengabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFIA'S TEARS
Teen FictionHidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri yang kerap membully-nya. Sampai pada akhirnya tiga cowok badboy di sekolah menjadikan Tafia sebagai...