34. Khawatir yang sia-sia

67K 5.9K 145
                                    

"Mama udah hubungi Cakra nak, kamu tenang aja ya Cakra bilang akan pulang hari ini."

"Baik ma terima kasih ya sudah mau bantuin Nisa.."

"Sama-sama nak, jangan lupa persiapkan dirimu untuk masuk di awal perkuliahan nanti ya.."

"Iya ma, kalau gitu Nisa tutup dulu telponnya."

Tut!

Sudah empat hari ini Cakra tidak menampakkan batang hidungnya dirumah, hal itu sukses membuat Nisa khawatir, ia takut jika Cakra dalam keadaan tak baik-baik saja.

Pada akhirnya Nisa menyerah, ia meminta bantuan mama Siska untuk menghubungi Cakra, mencari tahu dimana keberadaan nya, bagaimana kabarnya, dan kapan akan pulang.

Nisa terus menunggu di teras rumah, didalam hatinya selalu terpanjat doa untuk Cakra hingga saat ini langit mulai menggelap tapi Cakra masih belum kunjung datang.

Dimana kak Cakra? Apa kakak baik-baik aja? Apa kakak makan dengan teratur?

Nisa menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia sendiri juga bingung mengapa ia merasa gelisah ketika Cakra tidak menampakkan dirinya dirumah, seharusnya ia merasa senang dengan tidak adanya Cakra dengan begitu ia bisa bebas melakukan apa saja tapi hal itu tidak bisa Nisa lakukan, pikirannya selalu tertuju pada suaminya.

Mobil hitam milik Cakra mulai memasuki area rumahnya, Nisa langsung bangkit dari duduknya untuk menyambut Cakra.

Tak. Tak. Tak.

Langkah Cakra berhenti tepat dihadapan Nisa, ia menatap dingin wanita itu.

"Ngapain lo disini?! Masuk!" titah Cakra dengan tegas.

Cakra melangkah mendahului Nisa dan Nisa mengikutinya dari belakang, tasnya dilempar begitu saja setelah sampai diruang keluarga.

"Sini lo!"Ditariknya tangan Nisa hingga kini ia berada tepat dihadapan Cakra. "Pinter ya lo, berani sekarang lo ngaduin gue ke mama, HA!"bentak Cakra.

Cakra benar-benar diambang emosinya, ia sangat terganggu dengan panggilan sang mama, rasanya ingin sekali ia menghajar Nisa saat ini.

Tubuh Nisa bergetar ketakutan, bukan ini yang ia mau, bukan bentakan yang ia inginkan.

"Ma--af, aku cuma kha-watir aja sama kakak, udah empat ha--"

"Khawatir lo bilang?"Cakra mengulas senyum remeh nya. Ia menyela ucapan Nisa begitu saja, ada perasaan hangat dihati nya ketika tahu bahwa Nisa mengkhawatirkan nya, tapi rasa emosi sudah berhasil menguasai seluruh dirinya.

"Mau gue kemana aja, mau gue pulang atau gak itu urusan gue bego!! Siapa lo berani ikut campur dalam urusan gue?! Pinter banget ya lo cari muka sama mama!! Setan emang lo!

Plak!

Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Nisa hingga menciptakan warna sedikit kemerahan.

Apa aku salah mengkhawatirkan suamiku sendiri? Apa tamparan ini pantas?

Nisa mati-matian menahan air matanya, ia terus menunduk tanpa berani menatap Cakra yang sudah dipenuhi rasa emosi nya.

"Lo denger ya, lo bukan siapa-siapa di hidup gue, lo gak berhak ikut campur sama urusan gue, urusan lo hanya ngurusin ini rumah! NGERTI GAK LO?!"

Nisa mengulas senyum tipisnya, ia menghapus air mata itu dengan kasar dan memberanikan diri untuk menatap Cakra.

"A-ku ini istrimu, wajar kalau aku khawatir, waj--"

"DIEM LO ANJI*G!!"

"Gue udah lama gak hajar lo buat lo makin ngelunjak ya!!"

Hampir saja Cakra mendaratkan tamparannya di pipi Nisa, tapi gerakan tangan itu terurungkan, ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

"Masuk ke kamar lo sekarang! Jangan buat gue tambah emosi Nisa!!"

Cakra pergi meninggalkan Nisa begitu saja, ia langsung pergi menuju kamarnya.

Sedangkan Nisa? Ia mulai meneteskan air matanya, hatinya begitu sakit sekali, ia selalu berharap akan perubahan Cakra, tapi sampai saat ini tidak harapan nya belum terwujud sama sekali.

Sabar, sabar, dan sabar, hanya itulah yang harus Nisa lakukan saat ini.


D E O R A  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang