65. Ada apa dengan Cakra?

72.5K 5.8K 1.3K
                                    

"Kamu yakin mau kerja di kebun abah Dayat?"

Nisa mengangguk antusias, ia berencana untuk ikut menjadi petani apel di kebun super luas milik abah Dayat, lelaki tua sebagai pemilik rumah yang mereka tempati atau lebih tepatnya pemilik rumah kontrakan yang Nisa tinggali sekarang ini.

Mendengar kata Apel, pasti kalian sudah bisa menebak dimana keberadaan Nisa dan ayahnya. Meskipun mereka tak pergi dari negara ini tapi salah satu desa di kota itu merupakan desa teraman bagi mereka untuk mengindari keluarga Cakra.

"Gak usahlah biar Ayah aja yang kerja, kamu dirumah aja Nisa... Jadi petani itu gak mudah, emang kamu sanggup?"

"Sanggup yah, jadi petani apel kan gak begitu susah yah.. apalagi Nisa masih muda tentu aja tenaga Nisa masih lebih kuat dari ayah, hehehe..."

"Hahaha, jangan menghina ayah kamu.... Lihatlah badanmu semungil apa? Orang pasti mengira kalau kamu masih anak Sd..."

"Hahaha orang pasti juga akan terkejut kalau tau Nisa yang semuda ini udah jadi janda hehe....."

Johan terdiam memperhatikan Nisa yang selalu mencoba untuk menutupi kesedihannya, ia tau Nisa tak sepenuhnya bahagia seperti sekarang ini. Nisa tak tau jika diam-diam Johan selalu mendengar isak tangis Nisa dimalam hari bahkan setelah perceraian pun cincin pernikahan mereka tak pernah terlepas dari jari manis Nisa.

"Maafin ayah nak, hidup kamu jadi susah karena ayah..."

Nisa menggeleng, ia menyenderkan kepalanya di bahu milik Johan. "Jangan diingat lagi yah, udahlah jangan sedih terus,, kita kan udah janji untuk memulai lembaran baru.."

Johan mengulas senyumnya, ia mengusap-usap rambut hitam milik sang anak.

"Mulai kapan kamu akan bekerja?"

"Besok pagi yah..."

Johan mengangguk. "Yang terpenting kamu harus jaga diri kamu, apalagi disini kamu wanita yang masih sangat muda..."

Nisa mengacungkan jari jempolnya tepat dihadapan Johan, ia sangat senang setelah mendapatkan izin dari Johan untuk bekerja meskipun hanya menjadi petani apel di kebun milik abah Dayat.

"Oh ya yah, tadi ibu siti kirim sayur asem buat kita.. Nisa gak nyangka ya yah, tetangga disini baik semua padahal belum ada seminggu kita disini.."

Johan mengangguk. "Ayah udah siapin semuanya nak, sebelum kesini ayah udah cari tau gimana lingkungan sekitarnya.. pokoknya ayah mau yang terbaik buat kamu..."

Nisa memeluk Johan, ia mengucapkan banyaknya terima kasih untuk ayah tercintanya.

"Ayo makan yah.. Nisa laper banget, ada ikan asin juga dari bu siti.. ikan asinnya menggoda banget yahh..."

Johan mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Nisa. "Ikan asin? Kamu mau makan ikan asin?"

Nisa mengangguk."Nisa udah coba satu tadi hehe, enak banget yah.."

Deg!

Johan terkejut mendengarnya, Hatinya berdebar, jantungnya berdegup kencang mendengar ucapan Nisa, sekilas pikirannya tertuju pada satu hal yang belum pasti, ia mencoba untuk menepis pikiran itu.

Apa Nisa....haha gak mungkin! Tapi sejak kapan anakku mau makan ikan asin? Bukankah dari dulu dia paling anti dengan makanan itu? Bukankah ia selalu mual jika makan ikan asin, tapi sekarang?

"Ayah kenapa diam? Kok lihatin Nisa terus?"

Johan tersadar dari lamunannya setelah mendapatkan usapan dari tangan kecil Nisa.

"Kamu gak mual setelah makan ikan asin itu nak?"

"Engga yah, kenapa harus mual? Malahan Nisa ingin makan lagi yah.. ayo yah Nisa laper loh ini..."

D E O R A  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang