Chapter 6

1.3K 156 0
                                    

Aku menyuruh salah satu pengawal yang bertugas menjaga kuda istana untuk mengambil kotoran kuda itu dan memasukkannya ke dalam wadah.

Pengawal itu sedikit keheranan, tapi tidak melawan perintahku.

Sore ini, saat Akbar akan keluar untuk berlatih pedang, aku sengaja meletakkan kotoran kuda tepat di depan pintu kamarnya. Lalu aku bersembunyi di balik dinding yang tak jauh dari tempat aku meletakkan kotoran itu.

Aku menghidupkan petasan kecil dengan korek api, kemudian melemparkan petasan itu segera sesaat setelah menyala. Tepat di depan pintu kamar Akbar, petasan itu meledak.

Akbar sepertinya kaget karna takut ada yang tidak beres di luar. Ketika mendengar ledakan itu, ia langsung membuka pintu kamar dengan cepat dan keluar. Namun, belum genap dua langkah, kakinya menginjak kotoran kuda yang telah aku letakkan tadi.

Aku dapat melihat dari jauh bagaimana Akbar terlihat kesal karna kakinya yang tanpa alas itu menginjak kotoran kuda di depan pintu kamarnya. Aku tersenyum puas dan pergi ke kamarku untuk beristirahat.

Hari ini, pelajaran pertama untuk Akbar supaya lebih sopan terhadap Ratu di istana ini.

Hari-hari berikutnya, aku kembali usil mengerjai Akbar. Terkadang aku menuangkan bubuk cabe yang sangat banyak ke dalam supnya, sampai ia kepedasan dan wajahnya memerah, lalu meminta air dan kuberi air yang masih sedikit panas. Akbar itu tidak suka pedas, jika makan saja cabenya sering ditepikan.

Aku juga pernah mengganti gula menjadi garam dalam tehnya, atau meletakkan cicak ke dalam jubah mandinya. Pernah juga meletakkan banyak alarm di bawah tempat tidurnya hingga membuat Akbar terganggu.

Haha! Akbar-Akbar, makanya jangan suka membuat Hanum ini jengkel dengan usil membawa mainan tak berguna itu ke istana.

Malam ini, aku mempunyai rencana besar lain yang akan aku lakukan. Lihat saja, bagaimana seorang Hanum akan membuat Akbar yang katanya tampan tujuh turunan itu menjadi lemah.

****

Seperti biasa, kami duduk di meja makan berjauh jauhan. Pelayan hilir mudik membawa makanan dan memberikan apa yang kami minta.

Aku tersenyum licik saat Akbar meneguk susu putih dalam gelas. Setiap malam Akbar rutin meminum susu, mungkin sudah kebiasaanya sejak dulu.

Hal yang membuatku senang adalah, aku sudah mencampurkan obat pencuci perut seperti yang aku lakukan pada Sheila dulu. Tinggal menunggu kabar besok pagi, bahwa pemilik 'Perusahaan Penghasil Parfume Terbesar Kedua di Dunia' itu tidak masuk kantor karna diare.

Rasanya aku tidak sabar melihat Akbar tengah malam sibuk bolak balik ke kamar mandi. Dan aku akan tidur dengan pulas. Syalala.

Makan malam selesai, aku kembali ke kamar yang letak kamarku dari ujung barat ke ujung timur ke kamar Akbar di lantai dua. Kami menaiki tangga bersama, dan Akbar seperti biasa tersenyum saat melihatku, senyum yang sampai saat ini selalu membuatku jijik.

Tapi kali ini ada yang berbeda dari senyum itu, entahlah. Atau aku saja yang merasa ada sesuatu yang Akbar rencanakan.

Jika memang ada, apa?

Aku mengabaikan senyum lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu. Dan memilih masuk ke kamar lalu memulai rutinitasku setiap malam. Berganti pakaian tidur, lalu memakai lotion dan skincare routine lainnya.

Menatap pantulan wajahku di cermin, aku tersenyum tipis. Masih sama cantiknya seperti dulu; dengan rambut panjang hitam bergelombang yang digerai indah.

Aku sudah siap beranjak tidur, mematikan saklar lampu lalu mulai menyambut mimpi indah. Membayangkan Akbar yang hahaha sudah membuatku senang setengah hati.

Namun, saat baru saja memejamkan mata beberapa detik, aku mendengar derap langkah seseorang mendekati kasurku. Aku membuka mata lalu berniat menyalakan lampu di atas nakas, tapi gerakanku terhenti ketika ada tangan lain yang menahan kedua tanganku, lalu bersamaan dengan itu, tubuh kekar seseorang menindihku.

"Hai, istriku!"

Laki-laki menyebalkan itu? Kenapa dia datang kemari?

"Akbar?"

"Ya. Kenapa? Bukannya aku memiliki hak datang kemari?"

"Jangan bertindak bodoh! Kembali ke kamarmu sekarang!"

Dengan gerakan cepat, aku berhasil bangun dan berdiri lalu menyalakan semua saklar lampu.

"Keluar sekarang juga!" Aku mengusir Akbar. Deru napasku tidak beraturan, begitu kaget karena tiba-tiba Akbar datang kemari.

"Kau yang mengundangku kemari, Hanum." Akbar tersenyum licik, ia mendekat.

"Aku tak pernah sekalipun mengundangmu untuk tidur di sini!" sanggahku, masih berusaha mengusirnya dengan menarik lengan Akbar secara paksa menuju pintu. Tapi tubuhnya itu tidak bergerak sama sekali walau aku sudah menariknya sekuat tenaga.

"Berhenti menarikku seperti itu, Hanum. Tenagaku jauh lebih kuat darimu."

Aku menyerah, menghempaskan lengan Akbar begitu saja.

"Apa maumu datang kemari? Hah?" tanyaku dengan kesal. Pasalnya, ia sudah mengganggu tidurku.

Akbar menyilangkan lengan di dada, khas gayanya saat berbicara.

"Ayolah, Hanum, kau licik, tapi asal kau tau kalau aku lebih licik," ucapnya, lalu semakin mendekat.

"Berniat membuatku diare ya? Dengan mencampurkan obat pencuci perut ke dalam susu yang aku minum?"

Aku terdiam, bagaimana ia bisa tau?

"Aku tau, Hanum. Aku selalu mengawasi gerak gerikmu. Dan asal kau tau, aku telah  menukar isi obat pencuci perut itu dengan .... " Akbar menggantungkan kalimatnya.

"Apa?" Aku semakin was-was.

Akbar mendekat, kini membuatku kembali terbaring di atas kasur. Lalu ia berbisik yang membuat seluruh tubuhku merinding.

"Obat perangsang."

****

Eh eh ehh. Hanum, sih.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang