Chapter 15

981 130 14
                                    

Kesal mendapat penolakan, aku masuk kamar dan menguncinya dari dalam, lalu berbaring di atas kasur dan menangis sejadi-jadinya.

Aku tak membiarkan seorangpun masuk kamar, termasuk Alsava. Ia menunggu di depan pintu sambil sesekali mengetuk pintu kamar, khawatir.

Berharap Akbar menyadari kesalahannya lalu menemuiku, aku berulang kali menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat.

Tersenyum miris, aku kembali terisak.

Apa salahnya jika menemaniku sebentar untuk menuntaskan keinginanku? Bukankah ini juga bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang calon Ayah? Tidak bekerja sehari saja tidak akan membuat perusahaannya hancur, bukan? Tapi sayangnya ia memilih mengabaikanku sekarang dan pergi bersama stafnya.

Aku memukuli guling di depanku dengan kesal. Sambil masih menangis terisak-isak lantaran kesal mengingat Akbar yang menolakku.

"Dasar buaya cap kadal!"

"Akbar menyebalkan!"

****

Hingga menjelang sore, dengan mata sembab dan bengkak, air mata itu masih saja mengalir. Aku tak pernah merasa secengeng ini sebelumnya, tapi mungkin karna hormon ibu hamil, membuatku begitu sensitif.

Seperti ada sesuatu yang memutar dan menekan perutku secara bersamaan, aku meringis sambil memiringkan badan ke arah kiri. Mencoba menenangkan diri dan bersikap sewajarnya.

Sepertinya menangis sepanjang hari berdampak buruk terhadap kandunganku.

Menghapus bercak air mata, aku beralih mengelus sayang perutku yang tak lagi rata. Tiga menit, enam menit, hingga dimenit kelima belas, rasa tak nyaman itu belum juga hilang dan mereda.

Aku menelepon Alsava dan memintanya untuk masuk setelah membuka pintu kamar melalui remote control. Pintu kamar disertai dengan sinar inframerah yang bisa dikendalikan dengan remot untuk membuka dan menutupnya. Jadi aku tidak perlu berjalan dan membuka kunci untuk meminta Alsava masuk.

Alsava masuk dan terlihat cemas saat melihatku meringkuk sembari memeluk perut.

"Ratu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

"Panggilkan Ara sekarang!" perintahku disela rasa sakit.

Alsava mengangguk dan bergegas menelepon Ara melalui telepon Istana.

Berusaha menghilangkan nyeri, aku mengatur pernapasan. Bahkan kepalaku sekarang ikut pusing karna menangis terlalu lama.

Tak lama berselang, Ara datang dan langsung memeriksa keadaanku.

"Bersedih dan menangis terlalu lama tidak baik untuk kandungan, Ratu," kata Ara menasihatiku.

Aku diam, membenarkan ucapan Ara dalam hati. Salahku juga yang kesal berlarut-larut hingga seharian ini sampai melupakan kesehatan bayiku.

"Aku ingin buang air, bantu aku Ara," ungkapku karena merasa tak nyaman bila menahan urine.

Ara membantuku duduk dan berdiri, lalu memapahku untuk pergi ke toilet.

Setelah beberapa menit, aku keluar dan memandang langit yang sudah berubah sedikit jingga dari jendela.

"Apa Akbar belum kembali?"

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang