Chapter 68

335 36 0
                                    

Langit gelap. Tidak berbintang seperti malam-malam sebelumnya. Bulan pun enggan menyembul dari peraduannya. Lebih tepatnya ditutupi oleh awan mendung yang bergelayut di atas sana. Beberapa kali langit terlihat terang seketika, disusul angin yang berhembus kencang.

Sepertinya malam ini akan turun hujan lebat.

Hanum mempercepat langkahnya saat telah sampai di lantai empat puluh. Roftop dengan lebar hanya tujuh kali enam meter itu menjadi pemandangan pertama saat Hanum menginjakkan kakinya di sana.

Ia lalu menuju tangga yang mengarah pada menara puncak. Langit bergemuruh. Udara semakin dingin dengan angin yang bertiup lebih kencang. Rambut panjang Hanum terlihat sedikit berkibar ke belakang. Gaunnya pun terbawa arah angin. Ia menjadi sedikit sulit menaiki tangga.

Pada unakan tangga ke sepuluh, Hanum berhenti. Tidak ada cahaya lampu atau tanda-tanda keberadaan seseorang di sana.

Diam sesaat, Hanum kembali menaiki unakan tangga dan sampai pada tempat tujuannya.

Ruangan ini gelap. Hanya temaram cahaya dari langit yang seketika terang yang terlihat menyorot ke dalam. Menerangi benda-benda yang terlihat di dalam menara kecil itu.

Di mana Akbar?

Langit kembali terang seketika. Suara guntur terdengar disusul tiupan angin yang cukup kencang. Kali ini lebih kencang.

Ruangan itu hanya berukuran kecil. Empat kali tiga meter dengan dinding berwarna gelap dan kusam. Terlihat tidak terawat. Ada jendela kecil tanpa penutup di bagian kanan. Meja kayu panjang dan dua kursi berhadap-hadapan telah sedia di depannya. 

Suasana di sekitarnya terasa mencekam. Pada ketinggian ratusan meter ini, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, suara teriakan Hanum tidak akan terdengar oleh sesiapa.

Hanum melangkah pelan. Ia sama sekali tidak takut. Beberapa helai rambutnya terkibas terbawa arah angin. Perempuan itu menatap jendela di bagian kanannya, menerawang keadaan luar yang sebentar lagi akan turun hujan dengan sangat lebat.

Beberapa saat menunggu, Hanum mendengar langkah kaki seseorang dari belakang. Ia menoleh lalu mendapati seorang pria dengan baju kerajaan lengan panjang berwarna serasi dengan apa yang Hanum kenakan.

Kedua tangannya membawa lilin besar yang menyala.

Hanum tersenyum. Ia yakin Akbarnya pasti datang.

Tanpa berkata-kata, Akbar meletakkan satu lilin di atas meja sebelah kanan, lalu lilin satunya lagi di bagian sisi sebelah kiri. Pria itu kemudian duduk di atas kursi kayu.

Hanum mengikuti Akbar; duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Akbar. Mereka tersekat oleh meja panjang itu.

Hanum menemukan dua buah kotak untuk menaruh lilin agar apinya tidak padam ditiup angin. Ia lalu meletakkan lilin itu ke dalam kotak khusus lalu kembali fokus oleh tujuannya kemari.

"Maaf membuatmu menunggu." Akbar bersuara.

"Tidak masalah. Aku juga belum lama datang."

Keduanya lalu terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanum sendiri tidak tahu akan mulai berbicara dari mana. Ia melihat suaminya yang sekarang terlihat tegang, tengah memandang langit malam dari jendela yang terbuka.

Sepersekian detik. Keduanya masih sama-sama diam. Akbar lalu membuang napas sedikit kasar lalu menarik kursinya untuk lebih dekat.

"Sayang," ujarnya sembari membawa tangan Hanum ke dalam genggamannya. Akbar mengamit lalu mengecupnya lama.

Pria itu masih terus menggenggam tangan di depannya dengan raut wajah yang sulit dibaca.

Hanum membiarkan saja Akbar melakukan itu. Tangan Akbar terasa dingin dalam genggaman Hanum.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang