Hari demi hari yang kami lewati bersama kehadiran Musthafa adalah hal paling membahagiakan bagiku.
Iya, bagaimana tidak? Menjadi seorang ibu adalah salah satu anugrah terindah yang dititipkan Tuhan untukku. Dan aku begitu mensyukuri hal itu.
Akbar merawat Musthafa dengan baik. Meskipun sesekali masih canggung dan kebingungan, tapi ia selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi setiap harinya.
Aku yang belajar lebih banyak dari Ara dan Sofia terkadang terkikik geli melihat Akbar menggaruk tengkuknya kikuk karna terbalik memasang popok. Atau ketika gelagapan saat Musthafa menangis dan sulit didiamkan.
Terlihat lucu melihat tingkah gemas Akbar yang baru pertama kali merawat bayi itu.
"Akbar, apa yang kau lakukan?" tanyaku saat melihat Akbar ingin mengolesi minyak rambut bayi ke lengan Musthafa.
"Tentu saja memberinya minyak anti nyamuk," jawabnya singkat. Seketika aku menepuk keningku pelan dan mengambil botol minyak itu dari tangannya.
"Ini bukan minyak anti nyamuk, tapi minyak rambut. Apa kau tidak membacanya, Raja?" tanyaku sambil geleng-geleng kepala.
"Ah benarkah?" Akbar balik bertanya lalu mengambil botol yang ada di tanganku dan membaca seksama tulisan pada kemasan botol minyak rambut yang disangkanya minyak anti nyamuk tersebut.
"Kau benar Hanum, ini bukan minyak anti nyamuk. Banyak sekali produk bayi sekarang, aku jadi bingung membedakannya," ungkap Akbar, kemudian terkekeh.
Aku ikut tertawa dan mengambil alih tugas Akbar yang mempersiapkan Musthafa sehabis mandi.
"Biar aku yang mendandani Pangeran. Maukah kau menolongku untuk menelepon Sofia agar datang kemari? Pangeran harus diperiksa secara berkala. Aku tak ingin ada vitamin atau hal lain yang terlewatkan. Pangeranku harus selalu sehat," jelasku sembari mengenakan baju bayi pada Musthafa.
"Kau sangat menyayanginya. Aku jadi tersisih semenjak Musthafa lahir," adu Akbar dengan ekspresi pura-pura bersedih.
Aku terkekeh geli mendengar penuturannya barusan. Memang benar, selama lebih dari lima Minggu ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Musthafa. Mempersiapkan segala keperluannya dan terkadang aku melupakan Akbar yang harus pergi bekerja atau sekadar mengingatkan untuk sarapan.
Waktuku jadi banyak tersita untuk Pangeran sekarang.
"Pangeran, lihat ayahmu, Nak! Dia cemburu padamu," kataku setelah selesai mendandani Musthafa. Bayi lelaki tampan itu hanya menggeliat sambil menatap kedua orang tuanya.
"Ibumu sekarang pilih kasih terhadap Ayah," ucap Akbar hiperbola.
"Kau ini ada-ada saja, Akbar! Dari pada terus mencemburui aku dan Musthafa, baiknya kau pergi berolahraga," saranku yang dihadiahi kerutan kening oleh Akbar.
"Olahraga? Kenapa harus olahraga? Apa kau mengejekku gendut, Hanum? Kau tidak lihat perut six pack-ku ini?" kata Akbar seraya mengusap perutnya yang tak terlihat rata.
"Apakah menurutmu itu terlihat six pack?" tanyaku sembari mengangkat sebelah alis.
"Tentu saja. Perutku ini seperti roti sobek," jawabnya dengan bangga.
"Itu lebih terlihat seperti bakso beranak."
"Hanuuummm!"
"Hahahaha."
Roti sobek apanya jika begitu. Aku perhatikan, semenjak aku hamil, perut Akbar juga ikut membuncit. Mungkin rata-rata suami yang telah beristri dan memiliki bayi tubuhnya tak lagi sekekar dan atletis sebelum menikah.
Teman-temanku yang lebih dulu menikah juga pernah bercerita sedemikan.
"Lihat, Musthafa! Ibumu mengejek Ayah," adu Akbar sambil mengerucutkan bibir.
"Astaga! Kau menjadi seperti Barbie sekarang!"
"Hanum! Berani, ya kau mengejek suamimu ini terus terusan!" kata Akbar sambil mendengkus.
"Selagi ada kesempatan, kenapa tidak?" jawabku sembari menahan tawa.
Akbar lalu menggelitik perutku hingga membuatku tertawa geli sampai air di sudut mataku menetes. Ia bahkan memberiku ciuman pada seluruh wajah dan juga perutku yang membuatku semakin tertawa.
"Akbar! Hentikan!" pintaku disela tawa.
"Siapa suruh kau mengejekku hah? Rasakan ini!" katanya dengan tertawa puas dan kembali menggelitikku.
Kedua insan yang tengah berbahagia di dalam kamar itu sibuk tertawa lepas saling berbagi kasih. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata jahat yang mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka dengan tatapan penuh kecemburuan.
Ia mengepalkan kedua tangannya kuat, lalu dengan tatapan tajam dan deru napas tidak beraturan, ia berbalik arah dan pergi. Tidak tahan bila lebih lama melihat pemandangan di depannya.
****
Haduh, antagonis mulai bermunculan 🥱
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...