Hanya Musthafa alasanku tetap bertahan hingga sekarang. Hanya Musthafa yang berhasil tetap menghadirkan senyum dalam wajahku yang telah meredup.
Malaikat kecil yang dikirim Tuhan untukku itu ternyata memiliki efek pengaruh besar. Meskipun berulang kali kalimat Akbar masih terngiang-ngiang dalam kepala, aku berusaha menepis itu.
Melihat wajah riang Musthafa, mata bundar yang mengerjap-ngerjap lucu, pipinya yang tembam, chubby. Rasanya juga tidak tega jika memperlihatkan wajah ibunya yang murung dan penuh duka. Anakku harus tetap bahagia. Pertengkaran ini tidak boleh mempengaruhi kesehatan psikisnya sedikit pun. Tidak boleh!
Membuai ayunan Musthafa dengan pelan, aku bersenandung lirih. Sholawat Jibril. Beberapa Minggu lalu aku belajar Sholawat itu dengan benar. Tidak mau bila lagu tidur bayiku dengan bahasa Inggris seperti yang dulu-dulu aku lakukan.
"Maafkan Ibu, ya, Sayang. Ibu baru bisa menyanyikan sholawat ini saat usiamu sudah lima bulan. Harusnya ibu belajar sejak kau masih dalam kandungan." Aku tersenyum tipis. Musthafa mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu tertawa. Begitu menggemaskan.
"Tidurlah, sayangku."
Tapi bayi mungil itu masih riang tertawa.
Beberapa menit kemudian, Alsava datang dan memberitahuku bahwa ada banyak penjual pakaian dan perhiasan yang datang ke istana. Aku meminta Alsava untuk menemani Musthafa sebentar, kemudian beranjak ke lantai bawah untuk memeriksa.
Setibanya di bawah, beberapa penjual mendekatiku. Mereka memberi salam hormat dengan sopan lalu mengatakan tujuannya datang kemari.
"Tapi aku tidak memesan pakaian maupun perhiasan apapun."
"Maafkan kami, Ratu. Tapi kami mendapat telpon bahwa Ratu yang memesannya."
Aku mengerutkan kening. Heran. Untuk apa pula aku memesan perhiasan dan pakaian di saat keadaan seperti ini. Hmm.
Tapi, sebentar. Ratu yang memesan? Kalau bukan aku, berarti ....
"Kalian sudah datang. Kemari!" Suara bariton itu mengintrupsi percakapanku.
Ajeng datang dari pintu utama. Entah dari mana gadis itu. Bersama Akbar di sampingnya.
Aku memalingkan wajah. Merasa jengkel. Lagi-lagi mereka berdua. Bersama.
Kepala botak Ajeng itu kini ditutupi rambut palsu. Menyerupai rambut aslinya dulu. Tidak ada yang menyadari hal itu jika bukan orang-orang tertentu yang tau.
Ajeng menatapku sebentar kemudian beralih pandang. Dapat aku lihat ia masih menyimpan takut padaku. Kalau tidak ada Akbar aku rasa ia tidak akan berani mendekat saat ini.
Gaun mayung berwarna kuning dengan aksen pita di tengahnya, juga pernak-pernik yang menempel pada setiap helainya, serta mahkota putih kristal yang bertengger di kepala, membuat kesan bahwa ia memiliki kedudukan tinggi di sini. Mendesis pelan. Itu gaunku!
Sialan memang.
Akbar tersenyum kecut padaku. Ia menatapku tajam seakan mengatakan 'Jangan ganggu Ajeng-ku' lalu merangkul pinggangnya dengan posesif dan berjalan menjauhiku.
Ajeng yang memanggil penjual pakaian dan perhiasan itu untuk datang.
"Ini gaun pengantin model terbaru, Ratu. Corak dan warnanya sangat cantik." Seorang lelaki paruh baya dengan logat sedikit Melayu berkata sembari menyerahkan sebuah gaun pengantin berwarna merah muda. Lengkap dengan sepatunya.
Sementara itu, Ajeng tidak banyak berkomentar. Dia melihat-lihat banyak gaun yang lain terlebih dulu. Di sela itu juga memilih beberapa perhiasan.
Aku menghela napas panjang. Kebas melihat mereka sibuk mempersiapkan pernikahan tepat di bawah hidungku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...