Chapter 11

1.1K 136 2
                                    

Kebun seluas dua hektar itu kini telah penuh dengan aneka bunga warna-warni. Aku pernah mengatakan bukan, bahwa halaman belakang istana ditanami dengan aneka buah-buahan.

Dan area sekitar istana masih lebat oleh pepohonan. Kini, pepohonan itu ditebang sebagian untuk ditanami ribuan bibit bunga atas permintaanku. Jadi, setelah melewati halaman belakang yang penuh dengan aneka buah-buahan, berjalan sedikit ke belakang, akan ditemui hamparan bunga-bunga yang sedang bermekaran.

Salah satu impianku adalah memiliki kebun bunga yang sangat luas, dengan aku yang bebas menanami bunga apa saja yang aku inginkan dan memetiknya kapanpun aku mau. Akbar telah mewujudkan satu impianku.

Setelah beberapa bulan, bibit bunga yang ditanam itu kini telah berubah menjadi bunga yang mekar dan sangat cantik. Aku menanam bunga mawar dengan aneka warna, merah, pink, putih, biru, juga bunga matahari, lavender, tulip, sedap malam, kamboja. Dan beberapa bibit bunga lain yang diimpor dari Eropa dan negara Timur Tengah.

Aku seakan berada di Netherlands sekarang, hanya saja tidak ada kincir angin raksasa di sini. Berdiri di antara hamparan bunga tulip merah yang begitu cantik membuat euforiaku meningkat.

Mentari pagi sedang hangat-hangatnya menyinari. Bila bisa kujadikan pagi ini tetap abadi maka akan aku lakukan. Aku sangat menyukai kebunku sekarang dengan sinar jingga yang menerpa kelopak dedaunan bunga-bunga cantik ini.

Akbar berdiri di sampingku. Kemana pun aku pergi ia selalu ada, seperti pengawal saja. Padahal aku tidak memintanya untuk itu. Kebetulan Akbar juga mengenakan pakaian khas kerajaan berwarna merah maroon seperti warna gaun yang aku kenakan. Jika orang yang melihat kami, pasti mengira adalah pasangan yang saling mencintai. Padahal tidak begitu sebenarnya.

Aku mengajak Akbar memetik bunga matahari yang berada agak jauh di tempatku saat ini berdiri. Ada beberapa kupu-kupu dengan warna biru yang mengitari bunga itu. Aku tertarik mendekatinya.

"Sebentar, Hanum, ada telfon," ucap Akbar saat saku celananya bergetar.

Aku menunggu pria di sampingku ini mengangkat telepon, masih memandang kupu-kupu dan bunga yang bermekaran itu.

Karena tidak sabar menunggu Akbar yang tak kunjung selesai menerima telepon, aku mendekati bunga matahari itu sendiri. Toh, jalanan di sini juga tidak becek ataupun licin.

Aku berjalan dengan hati-hati, sembari tanganku menyentuh setiap kelopak tulip yang kulewati saat menuju hamparan bunga matahari.

Kupu-kupu berwarna biru itu terlihat semakin indah saat jelas di dekatku. Aku sedikit membungkuk, memetik satu helai bunga matahari yang terlihat begitu ceria. Lalu mencoba menyentuh kupu-kupu yang berterbangan di atasnya. Menjauh, aku mencoba mengejarnya.

Dulu, saat masih berusia sekitar delapan tahun, aku dan adikku Hanna senang sekali berlari di taman dan mengejar belasan kupu-kupu. Sambil tertawa riang dan bahagia.

Aku seakan bernostalgia, seperti melihat aku dan Hanna kecil sedang berlari-larian dengan ceria. Mengikuti kupu-kupu itu, aku tertawa bahagia. Semakin didekati semakin pula ia menjauh.

Mariposa itu tanpa sadar membawaku ke ujung batas kebun. Aku sedikit berjinjit ingin menyentuhnya sebelum ia terbang ke hutan lebat di luaran sana, tapi aku tersandung kakiku sendiri hingga terhuyung ke depan. Sebuah dahan kayu runcing yang tergeletak di dekat pagar pembatas itu mengarah tepat ke perutku. Aku memejamkan mata, tak dapat lagi mengelak bila setelah ini akan terjadi apa-apa denganku.

Bruuk

"Aarrrghhh!"

"HANUM!"

****

Bumil ga sabaran

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang