"Sayang, Ibu datang berkunjung." Akbar masuk ke dalam kamar Hanum, di mana si empu sendiri tengah duduk di depan meja rias dengan dua orang pelayan di sampingnya. Satunya menyisir rambut Hanum, satunya lagi sibuk memasangkan anting di daun telinga Sang Ratu.
Hanum seketika berdiri. Matanya berbinar, wajahnya cerah mendapati kabar dari suaminya tersebut.
"Ibu?"
Akbar tersenyum sembari mengangguk.
Hanum cepat-cepat turun ke bawah, padahal antingnya belum genap ia pakai keduanya.
Akbar yang melihat antusias istrinya itu geleng-geleng kepala lalu menyusul Hanum yang sudah lebih dulu turun ke lantai bawah.
Saat di tangga, Hanum melihat seorang wanita dengan gaun berwarna hijau emerald, rambutnya di sanggul modern dengan mahkota di atasnya. Hanum semakin tersenyum lebar. Ia mempercepat langkahnya.
Hanum merindukan ibu mertuanya.
Ketika telah sampai, Hanum semakin tersenyum lebar.
"Ibu Suri."
Hanum sedikit membungkuk sebagai penghormatan lalu kemudian menyalami ibu dari suaminya itu dan memeluknya.
Vienna tertawa kecil dan mencium kening Hanum dengan sayang.
Ia lalu memegang kedua bahu menantunya dan menatapnya dengan penuh cinta. "Kau sangat cantik, Sayang."
Hanum tersipu mendengarnya. "Ibu juga sangat cantik."
Vienna kembali tertawa. "Saat datang kemari Akbar langsung memberi ibu gaun ini dan meminta perias mendandani ibu. Saat di sini, ibu jadi merasa seperti ibu suri sungguhan."
"Ibu suri dan Permaisuriku." Akbar datang lalu kemudian mendekap keduanya dengan sayang.
"Selamat datang, Ibu. Selamat datang di dunia dongeng kami!" Vienna yang mendengar itu gemas menjawil pipi putranya. "Kau mengulang sejarah lama, anakku."
Hanum tidak mendengarkan kalimat terakhir dari ibunya karena sudah sibuk menyuruh pelayan membawakan makanan dan minuman.
"Ibu, ayo duduk dulu. Lalu kita makan. Aku sudah memasak tadi."
"Ah benarkah?" Vienna senang mendengarnya.
"Iya, Ibu. Istriku ini sangat pintar memasak," puji Akbar, yang lagi-lagi membuat Hanum tersipu.
Semenjak hubungan keduanya membaik, Hanum jadi sering merasa tersipu dengan perlakuan kecil Akbar.
"Ibu senang mendengarnya."
Akbar izin pamit untuk mengurus beberapa pekerjaannya. Setelah mengecup kening ibu dan istrinya, ia beranjak pergi.
Vienna dan Hanum lalu duduk dan pelayan membawakan beberapa piring kue.
"Ibu, aku membuat donat dan kue coklat hari ini. Juga beberapa biskuit dan kue kering." Hanum lalu memberikan piring berisi kue yang lumer tersebut kepada Vienna. Vienna mengambilnya lalu memakan kue tersebut.
Ia terlihat tampak menikmatinya ketika coklat itu meleleh di mulutnya. "Ini sangat enak, sayangku."
"Terima kasih, Ibu. Aku juga sudah memasak makan siang. Apa ibu menyukai ikan gurame bakar dengan sambal terasi dan lalapan? Ayo makan bersamaku, Ibu. Atau jika ibu ingin makan sesuatu, aku bisa memasaknya dulu." Hanum begitu bersemangat.
Vienna menyeruput segelas teh hangat lalu menatap menantunya dengan sayang. "Ibu akan makan apapun yang kau masak, anakku. Tidak perlu repot-repot kembali memasak."
"Sama sekali tidak repot, Ibu. Aku senang melakukannya."
Vienna mengangguk, masih tidak memudarkan senyum di wajahnya.
"Jadi katakan, Ibu ingin makan apa?" Hanum kembali bertanya dengan ramah.
"Tidak, Sayang. Ibu makan apa yang kau masak tadi saja. Kedengarannya sangat enak."
"Baiklah, Ibu."
"Maaf ibu baru datang berkunjung. Terakhir kali kemari mungkin saat Musthafa lahir."
Mendengar itu, Hanum jadi tidak enak hati. Ia menggenggam jemari mertuanya.
"Harusnya aku yang meminta maaf, Ibu. Tolong maafkan aku dan Akbar yang jarang datang berkunjung." Hanum merasa menyesal karena jarang pulang ke Indonesia. Kesibukan Akbar dan beberapa masalah yang terjadi di rumah tangganya membuat Hanum mengurungkan niatnya untuk berkunjung.
Ia berjanji sekarang, bahwa nanti ia pasti akan berusaha menyempatkan waktu mengunjungi orang tua dan orang tua suaminya di Indonesia.
Vienna membelai pipi menantunya dengan lembut dan menggeleng pelan. "Ibu mengerti, Sayang. Tidak perlu meminta maaf."
Hanum menunduk. Malu dan merasa bersalah.
Melihat hal itu, Vienna buru-buru mengalihkan perbincangan. Ia mengeluarkan sebuah kotak merah dari dalam totebag yang tadi ia bawa.
"Untukmu, anakku." Ia menyodorkan itu kepada Hanum. Hanum mendongak, melihat kotak yang diberikan ibu mertuanya.
"Terimalah." Vienna tersenyum lembut, dan dengan sungkan Hanum menerimanya.
Kotak itu ia buka. Sebuah kalung emas dengan bandul Lazuardi berbentuk bulat menggantung di situ.
Hanum tersenyum lebar setelahnya. Batu permata warna biru yang sangat cantik!
Ia menatap ibunya yang kini juga tengah menatapnya. Vienna mengangguk. "Hadiah untukmu."
"Ini cantik sekali, Ibu."
"Hadiah yang cantik untuk menantuku yang cantik."
Vienna lalu memakaikan kalung itu di leher Hanum. Ia puas melihatnya. "Sangat cocok."
Hanum meraba kalung yang kini menggantung di lehernya. "Terima kasih, Ibu," ucapnya tulus.
Keduanya lalu saling bercengkrama dengan hangat. Rasa sungkan dan bersalah yang tadinya Hanum rasakan seolah melenyap begitu saja dengan perlakuan lembut ibu mertuanya.
Hanum sangat bersyukur memiliki ibu mertua yang begitu mencintainya. Menganggap Hanum seperti anaknya sendiri.
Mereka menghabiskan beberapa jam saling berbagi tawa dan cerita. Terlebih ketika Musthafa berada di tengah mereka. Ketiganya semakin akrab dan bahagia.
"Dia mirip sekali dengan kau dan Akbar. Benar-benar gabungan yang sempurna." Vienna mengajak Musthafa yang kini Aktif menggerakkan kaki dan tangannya. Balita yang hampir berusia setengah tahun itu begitu ceria dan bahagia. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.
Hanum tertawa kecil mendengar itu. "Ibu benar. Gabungan yang sempurna."
Mereka kembali larut dalam perbincangan hangat. Hanum bercerita banyak hal mengenai pengalamannya menjadi seorang ibu, dan aktivitas yang ia lakukan sehari-hari. Vienna juga antuasias menceritakan kegiatannya di Indonesia. Sesekali mereka tertawa keras karena lelucon masing-masing.
Hanum tapi tidak menceritakan bagian Ajeng dan Zidan kepada ibunya. Ia tidak ingin masalah rumah tangganya diketahui orang lain. Meskipun itu mertuanya sendiri. Hanum hanya ingin orang tua dan semua keluarganya tahu bahwa ia bahagia. Tidak untuk kesedihannya.
Hanum mengajak Vienna makan siang setelah menidurkan Musthafa dalam buaian.
Vienna begitu senang menikmati masakan menantunya. Menurutnya, masakan Hanum sangat enak.
"Akbar beruntung sekali memilikimu, anakku. Kau cantik, cerdas, dewasa, dan pintar memasak." Vienna memuji Hanum dengan tulus.
Hanum mengulum senyum mendengarnya.
"Ibu bisa saja. Aku tidak sesempurna itu, Ibu.""Kau lebih dari sempurna, Sayang. Ibu bahkan tidak bisa memasak sepertimu. Setiap hari koki dan pelayan yang memasak di rumah."
"Tidak wajib bisa memasak, Ibu. Yang terpenting ibu mencintai Ayah dengan sempurna."
"Haha, anakku. Ayahmu juga mengatakan hal yang sedemikian. Dia tidak pernah sekalipun marah jika ibu salah atau tidak bisa mengerjakan sesuatu."
"Ibu lebih suka bersih-bersih rumah dari pada memasak. Ibu kurang menyukai dapur."
****
Ibu mertua idaman siapa ini?🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...