Senyap. Malam ini kamarku senyap tanpa ada bunyi bising sedikit pun. Musthafa sudah tidur dalam buaiannya dua jam lalu. Alsava aku perintahkan untuk kembali ke kamarnya tanpa menemani aku seperti tiga malam terakhir ini.
Aku ingin menikmati waktu sendiri sekarang. Setelah lelah —dan cukup puas sebenarnya— mengerjai Ajeng si bayi dugong itu. Apa, ya reaksi Ajeng ketika tadi melihat dirinya seperti hantu?
Oh iya, apakah dia baik-baik saja? Apa dia bisa keluar dari ruangan itu? Ah persetan dengan itu semua! Dia harus merasakan sesekali pembalasan dari Hanum. Salah sasaran jika ia ingin mengusik perempuan yang sudah bersuami. Aku bukan wanita pendiam, lugu dan juga menerima begitu saja semua hal yang terjadi.
Ya maaf sekali Nona Ajeng. Aku tak sabar dan seikhlas tokoh serial dalam TV.
Kulirik jam dinding besar yang ada di sisi ruangan. Jarum jam itu menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Pantas saja aku sudah sangat mengantuk. Ini waktunya untuk mengistirahatkan tubuh.
Aku menyibak selimut lalu mematikan lampu kamar di atas nakas. Setelah itu mulai memejamkan mata dan beringsut menuju alam mimpi. Meski luka-luka masih basah dan terasa nyeri, tapi hidup akan terus berlanjut. Aku tak ingin menangisi seseorang yang bahkan tak memperdulikan aku sama sekali. Mengemis cinta tidak ada dalam kamusku!
Beberapa menit aku memejamkan mata dan baru saja ingin terlelap, aku dikagetkan dengan sebuah tangan yang secara tiba-tiba memelukku dan menelusupkan kepalanya di sela leherku.
Terhenyak kaget, aku refleks menepis kasar tangan itu dan langsung bangun. Aku takut Zidan masuk dan nekad melakukan itu.
Ketika aku menyalakan kembali lampu kamar dan ruangan seketika menjadi terang, terlihatlah jelas siapa yang saat ini sedang bergelung di sebalik selimutku.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku dingin. Masih sedikit takut dan cemas. Aku bahkan mengeratkan piama tidur bercorak emas yang saat ini aku kenakan.
"Rasanya ... dejavu sekali, ya?"
Aku memalingkan wajah. Mengerti apa maksudnya. Aku juga merasakan hal yang sama. Dejavu.
"Sekitar dua tahun lalu, aku juga datang diam-diam tanpa kau tau lalu mengagetkanmu seperti ini. Dan kita ...." Akbar tertawa kecil lalu duduk di atas ranjang. Sedangkan aku semakin enggan untuk menatapnya.
"Pergilah dari sini!"
"Bukannya aku memiliki hak untuk kemari? Kau masih istriku, Hanum."
Cih! Apa dia bilang? Istri? Haha. Sumpah, ingin sekali aku meninju rahang Akbar saat ini juga.
"Kau masih istriku dan aku suamimu. Tugas seorang istri adalah melayani suaminya dengan baik, bukan?" Akbar turun dari ranjang lalu mendekatiku. Aku menyeru galak dan sempat mendorongnya hingga kembali terduduk di bibir ranjang.
"Pergi dari sini, Akbar! Aku benar-benar sudah muak dengan segala tingkah bodohmu itu!"
"Haha. Hanum-Hanum."
Akbar kembali mendekat. Seperkian detik. Hingga tanpa bisa aku tolak, Akbar menyambar tubuhku lalu membuatku terbaring di bawah kuasanya.
Mencoba memberontak. Tapi apa daya, kekuatanku tidak sebanding dengan otot kekar milik Akbar.
Akbar menekan tubuhnya pada tubuhku. Menindih hingga membuat tubuhku benar-benar terkunci dan aku merasa sedikit sesak.
"A-apa yang kau lakukan?"
"Sssttt!"
Akbar tanpa kuduga melumat bibirku dengan beringas. Dan aku tak ingin membalas ciuman itu. Aku bahkan berteriak untuk memberontak dan mencoba lepas dari kungkungannya, tapi ia tetap tidak melepaskanku.
Ketika aku ingin memberontak sekali lagi, Akbar melepaskan tautan bibirnya. Ia kemudian beralih mendekatkan bibirnya pada telinga kananku.
"Kau mungkin akan sangat merindukan ciuman ini nantinya."
Aku menelan ludah lalu terdiam. Memaknai kalimat tersebut secepat yang aku bisa. Merindukan? Apakah ... dalam artian tak akan lagi pernah aku rasakan?
"Aku hanya memberimu salam perpisahan, Hanum."
Seketika mataku memanas mendengar semua itu. Padahal, aku sudah berusaha setegar karang agar tak memperdulikan apa yang akan Akbar lakukan setelah ini.
"Tampaknya kau sudah sangat jauh bertindak, Ratu petamaku."
"Apa yang kau lakukan pada Ajeng harus mendapatkan hukuman."
"Aku tidak peduli! Kau hukum atau tidak semuanya akan tetap sama!" Aku menatap tajam kedua matanya sembari mendesis. Berusaha kokoh mempertahankan jantung yang berdetak abnormal. Harap-harap cemas dengan apa yang setelahnya terjadi.
Akbar hanya tersenyum kecut lalu kembali berbisik di telingaku. Kali ini, aku tak kuasa menahan kristal dalam mataku untuk tidak pecah dan tumpah ke pipi.
"Dua hari lagi, aku akan menikahi Ajeng. Dan segera menjadikannya Ratu Tunggal."
****
NGGAK TAU LAGI SAMA AKBAR MAUNYA GIMANA!
PENGEN NYEKEK!
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...