Chapter 38

367 37 2
                                    

Baik. Sudah terhitung empat hari Ajeng di sini. Dan itu sama sekali bukan kabar baik untukku.

Sungguh. Ini benar-benar situasi yang membuatku berang!

Gadis muda itu menjamah seluruh istana dengan izin langsung dari Akbar. Aku tak bisa mencegahnya, walau istana ini telah mengatasnamakan diriku, tapi kuasa seorang Raja tetap di atas Ratunya.

Selama empat hari ini aku banyak mengalami kesulitan gara-gara Ajeng. Dia membuatku seakan terkurung di dalam rumahku sendiri. Hal yang bisa aku jadikan distraksi adalah, bermain dengan putraku. Musthafa.

Iya, hanya itu yang bisa aku lakukan. Melihat bayi mungil berumur hampir lima bulan yang sudah banyak mengoceh itu membuatku sedikit merasa lebih baik. Setidaknya untuk sekarang ini.

Aku bahkan tidak bisa leluasa memetik bunga kesayanganku di kebun saat ada Ajeng di sana. Karena semua perhatian menjadi terpusat padanya, dan aku seakan menjadi tokoh asing yang wajib disingkirkan.

Ajeng itu gadis di bawah umur, yang kurasa masih sekitar sembilan belas tahun. Dengan tubuh tinggi ramping dan kulit putih bersih, juga tatapan liar yang menggoda. Ah, dan jangan lupakan bibir kecilnya yang ranum itu. Aku rasa itu caranya menggoda Akbar. Atau ... ya, memang Akbar sendiri yang mendekat untuk tergoda tanpa adanya jerih payah Ajeng untuk mendekatinya.

Cukup menyesal aku pernah mencabut gelar buaya cap kadal yang telah aku sematkan dulu terhadap Akbar. Ternyata itu masih sangat pantas untuk ia sandang!

Aku berjalan menuju ruang tengah, melihat beberapa majalah yang tergeletak di meja begitu saja, dengan beberapa puntung rokok dan ... botol whisky?

"Hai Ratu Pertama!"

Ck! Suara riang yang penuh jahat itu lagi-lagi kudengar. Semenjak tinggal di sini ia jadi sering memanggilku sebutan 'Ratu Pertama.' Apakah maksudnya agar aku berbalik menyebutnya 'Ratu Kedua'?

"Apakah ini semua punyamu?" tanyaku dingin.

"Oh iya. Benar sekali. Maafkan aku karna sembarangan meletakkan botol ini. Kau pasti merasa tidak nyaman," ucapnya dengan tersenyum lalu mengambil dua botol kosong yang berserakan di lantai lalu kemudian meletakannya dengan botol lain yang masih penuh di atas meja.

Bukan hanya botol sampah itu yang membuatku tidak nyaman bodoh! Tapi dirimu juga!

"Kau tau, ada seorang bayi di sini. Tidak baik membawa benda sampah itu kemari. Itu hanya mengotori tempat ini. Sama dengan kehadiranmu di sini," ucapku dengan sinis. Tanpa merasa takut sedikitpun.

Ajeng terdiam, lalu sedetik kemudian hanya mengangkat bahu seakan mengatakan 'Ya? Lalu? Apakah itu bermasalah buatku? Oh tentu tidak!'

"Akbar telah memberiku hak dan izin penuh mengenai semua hal yang bisa aku lakukan di sini. Jadi ... aku pikir Ratu tidak memiliki hak lebih untuk mengatur apapun yang ingin aku lakukan," jawabnya tanpa merasa berdosanya.

Aku sempat terkesiap mendengar itu. Pasti Akbar telah banyak memanjakan gadis itu lalu belajar banyak hal, termasuk membalas ucapan dinginku.

Belum sempat aku membalas ucapannya. Ia kembali berucap, kali ini membuatku kesal setengah hati.

"Dan satu lagi. Karena aku telah diberi hak mengenai istana ini. Aku tertarik mengunjungi banyak ruangan yang menurutku ... umm sangat cantik. Dan, aku menyukai kamar Ratu Pertama."

Aku mengernyit tidak suka mendengar ucapannya barusan. Menyukai kamarku? Lalu apa? Dia akan merebutnya?

"Aku rasa ada baiknya Ratu segera pindah dari kamar yang saat ini Ratu tempati. Karna aku tidak sabar tidur di sana. Tidak keberatan bukan?"

Demi apapun, ingin kurobek mulut kecilnya itu dengan jemariku langsung. Berani sekali ia terang-terangan meminta kamar yang telah lama aku tempati. Tidak! Aku tidak akan membiarkannya!

"Kau adalah tamu. Dan bersikaplah layaknya seperti seorang tamu yang tahu diri dan tahu malu, Nona Ajeng Pramesti!" ucapku dengan geram.

Ajeng menyilangkan kedua lengannya di dada lalu bersiul-siul dengan santai.

"Aku rasa kau tidak cukup tuli dan pikun untuk mendengar dan mengingat bagaimana pertama kali suamimu memperkenalkan aku sebagai calon Ratu kedua di sini. Dan itu artinya ..." Ajeng mendekat ke arahku, lalu berbisik dengan suara yang amat sangat menyebalkan.

"Aku bukan tamu di sini. Melainkan juga pemiliknya. Kau paham, Ratu Pertama?"

Dengan sekuat tenaga aku mengepalkan tangan, mencoba untuk tidak menjambak rambut pendeknya lalu membenturkan kepalanya itu ke tembok.

Ajeng berdeham, lalu tersenyum manis yang terkesan dibuat-buat ke arahku.

"Jadi, segeralah berkemas dari kamarmu yang akan menjadi kamarku itu. Karna malam ini, aku sudah ingin terlelap dengan permadani empuk dan mewah itu."

****

Kolom untuk menghujat terbuka lebar!

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang