Chapter 41

386 36 22
                                    

Aku tak pernah ingin menjadi tokoh utama yang sedih dan terlihat begitu menyedihkan dalam suatu cerita. Aku benci hal itu. Namun, sekali lagi, hal yang kubenci justru mendekat padaku. Dulunya aku benci jika harus dijodohkan, lalu kenyataannya aku dijodohkan.

Setelah itu, kini bahtera rumah tanggaku diusik oleh seorang wanita liar dan aku tertindas di rumahku sendiri. Sumpah demi apapun aku membenci hal ini.

Jika ada pintu yang dapat kumasuki untuk memutar waktu, maka aku akan masuk ke dalam pintu itu lalu memutar waktu beberapa tahun lalu saat aku tak pernah bertemu dengan Akbar. Sama sekali.

Aku tak menyukai suatu perasaan yang membuatku terasa seakan tersayat sembilu. Perasaan aneh apa ini? Dan itu selalu aku rasakan ketika Akbar dan Ajeng berdua. Entah itu hanya berjalan beriringan atau bahkan saling menatap dengan penuh kasih.

Apakah ... aku telah mencintainya? Aku tak yakin.

Aku memilih berjalan menuju taman belakang untuk menghirup udara segar sekaligus berniat memetik beberapa buah ataupun bunga.

Taman ini masih sama, taman yang dulunya selalu aku kunjungi dengan penuh bahagia. Hanya aku pemiliknya, hanya aku yang berhak menjamah seluruh bunga-bunga yang bermekaran di taman istana ini. Namun, semenjak kedatangan Ajeng, semuanya berbeda.

Langkahku terhenti, saat lagi dan lagi kudapati Ajeng dan Akbar tengah berdua. Kini mengejar kupu-kupu bersama, tertawa bahagia bersama. Sembari Ajeng yang membawa setangkai bunga matahari, dan Akbar yang menjaganya di samping. Tawa keduanya lepas, seakan tak ada beban sama sekali.

Aku jadi mengingat saat masih mengandung Musthafa dulu, saat aku hampir saja terjatuh dan tertusuk dahan runcing. Akbar menyelematkanku dan membopongku menuju istana. Aku ingat persis kejadian waktu itu, aku yang mengejar kupu-kupu sampai perbatasan taman.

Aku ... jadi ingin mengulang masa itu.

Tak tahan melihat keduanya bersama, aku mengurungkan niat untuk berjalan-jalan di taman. Padahal, tempat paling nyaman di istana ini adalah taman. Di mana aku bisa menghirup udara segar dan menikmati harumnya bunga yang sedang bermekaran.

Aku memilih ke halaman istana depan. Barang kali, di sana aku menemukan sedikit ketenangan.

Namun, nyatanya aku kembali salah. Seakan semua semesta sedang berkonspirasi sekarang.

Aku melihat banyak arsitek dan tukang bangunan hilir mudik membawa bahan baku bangunan. Ketika aku bertanya pada salah satu arsitek istana, ia menjawab dengan ragu-ragu seakan takut membuatku terluka.

"Raja meminta kami membangun taman yang mirip dengan Botanic Garden Singapura."

Tapi, bukan itu yang membuat hatiku terhimpit. Namun sketsa gapura yang saat ini ia pegang.

Aku melihat sendiri, sketsa gapura yang akan dibangun itu bertulisan:
'Spesial Garden For Ajeng Pramesti.'

Hatiku mencelus membaca itu. Taman itu ... taman yang waktu itu Akbar dan aku kunjungi. Taman yang membuatku betah berlama-lama di sana, hingga Akbar berjanji akan merenovasi halaman belakang istana dan menjadikannya mirip seperti Botanic Garden. Taman itu, harusnya atas namaku. Gapura itu harusnya untukku. Bukan untuk Ajeng!

Dadaku bergemuruh hebat, dengan tangan yang bergetar lalu mata memanas. Aku mengembalikan sketsa itu pada Arsitek lalu memilih segera pergi dari hadapannya. Aku dapat melihat tatapan iba dari beberapa orang yang melihatku menangis. Iya, aku menangis. Dan aku benci air mata ini.

Belum sampai situ, pikiranku justru menikamku dari belakang dengan memutar kembali ingatan saat aku dan Akbar dulunya bersama di taman itu.

"Ayo Hanum. Kita harus pulang, hari sudah hampir malam," ucap Akbar saat kami sudah berada di dekat pintu keluar gerbang.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang