Chapter 74

361 30 8
                                    

"Paman, Bibi kan keturunan Yunani, rambutnya pirang. Tapi kenapa Akbar dan Ajeng rambutnya hitam semua? Kenapa tidak ada yang mirip dengan Bibi Helena?" Gio antusias bertanya, ia mengamati wajah Kahfi dan Helena secara bergantian, lalu mengingat-ingat wajah Akbar dan juga Ajeng, beserta karateristik fisik mereka.

"Itu karna Paman lebih jago dari pada Bibi." Kahfi tertawa, membuat Helena hanya geleng-geleng kepala.

"Entahlah, Gio. Bibi juga tidak mengerti. Padahal yang susah payah mengandung dan melahirkan mereka adalah Bibi. Namun, begitu mereka lahir justru begitu mirip Pamanmu ini," terang Helena kemudian menunjuk Kahfi dengan dagunya.

"Berarti laki-laki lebih hebat dong! Besok kalau Gio punya anak, pasti lebih mirip Gio dari pada istrinya Gio." Ucapan Gio barusan membuat tawa Kahfi dan Helena meledak. Celotehan dan setiap pertanyaan yang anak lelaki itu lemparkan selalu berhasil membuat keduanya tertawa.

Gio lebih banyak bicara dan terlihat aktif dari pada Akbar. Jika Akbar memilih mengamati semuanya dengan diam dan penuh ketelitian tanpa banyak bicara, Gio dengan sikap ingin tahunya selalu sibuk bertanya mencari tahu lalu melakukan penyelidikan besarnya dengan terang-terangan. Tidak pernah sungkan untuk berguru dengan siapapun, dan tidak akan berhenti jika pertanyaan-pertanyaannya belum terjawab tuntas.

"Memangnya nanti Gio ingin istri seperti apa?' tanya Helena, sembari menggendong Giovanny agar duduk di pangkuannya.

Layar kapal telah dibentang sejak satu jam yang lalu, puluhan mil telah mereka lewati.

"Seperti Ajeng," jawab Gio mantap.

Kahfi terkekeh. Guratan-guratan tegas di wajahnya tidak menjadikan pria yang telah lebih setengah abad hidup itu terlihat beringas. Semenjak menikah dan memiliki keturunan, ia menjadi lebih lembut dan penuh welas asih.

"Jadi kau ingin Ajeng menjadi istrimu?" Helena kini sangat tertarik dengan perbincangan anak lelaki di depannya.

"Iya, Bibi. Bolehkan Gio menikahi Ajeng suatu saat nanti? Gio pasti akan membuat Ajeng bahagia. Gio janji, Bibi." Meskipun baru berumur dua belas tahun, Gio dengan mantap dan sungguh-sungguh mengucapkan janjinya.

Helena melihat binar ketulusan di sana. Hatinya terenyuh, anak yang belum banyak tau perihal cinta itu sudah berani seyakin ini dengan ucapannya.

"Baiklah, Gio. Kau benar-benar ingin menjadikan Ajeng, Putri kesayangan Paman itu istrimu?" Kahfi berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Gio.

Gio mengangguk mantap. "Iya, Paman. Gio menyukai Ajeng."

"Kalau begitu, dengarkan Paman baik-baik." Kahfi berkata serius, ia menatap lekat kedua manik mata Gio.

Ditatap seperti itu, tidak membuat Gio berdebar atau takut, ia justru semakin percaya diri.

"Kau harus menjadi laki-laki yang tangguh, yang siap menjaga Ajeng dengan sepenuh hati. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh meninggalkan Ajeng. Jadilah lelaki yang selalu bisa Ajeng andalkan, kapanpun dan di mana pun itu."

Gio mengangguk.

"Kau tidak boleh membuat Ajeng bersedih. Karna Paman selalu ingin Putri Paman tersenyum bahagia."

"Gio akan membuat Ajeng bahagia, Paman. Gio pastikan itu. Ajeng akan menjadi Ratu di hidup Gio. Satu-satunya." Dengan semangat yang berpijar dan ketulusan sepenuh hati Gio mengatakannya, membuat Kahfi maupun Helena yang mendengarnya menjadi terenyuh.

"Baiklah, kalau begitu kemari, benar-benar berjanjilah dengan Bibi bahwa dari sekarang kau akan mulai menjaga Ajeng dengan baik. Karna Bibi ingin melihat, sepantas apa laki-laki yang akan menikahi Putri Bibi nanti."

Helena tersenyum lembut. Gio mendekat.

Ia meletakkan tangan kanannya di dada kiri, tepat di titik jantungnya berdegup. "Aku, Gio Heksa Shabiru, berjanji untuk menjaga Ajeng, mencintai dan membuatnya bahagia. Mulai hari ini dan nanti, ketika—,"

Belum genap Gio mengucapkan janjinya, sebuah ledakan dahsyat dari pusat kapal membuat tubuh keempatnya terpental dan berakhir menerima ledakan susulan dari bom yang telah sengaja di pasang di dalam kapal itu.

Seluruhnya terbakar, serpihan-serpihan kayu bagai kapas berterbangan. Melambung lalu jatuh berdebum ke lautan. Seluruh awak kapal, pelayan, pekerja maupun nahkoda kapal itu tidak ada yang selamat. Mati dengan mengenaskan.

Tubuh Helena dan Kahfi sempat menghantam peti-peti besar dengan kemudian kepala keduanya terbanting beton puluhan kilo. Hancur tak tersisa. Tangan kaki mereka terpisah dari tubuh, lalu ikut terbakar bersama sisa-sisa serpihan lainnya. Hancur lebur kemudian mengambang, bergabung bersama serpihan sisa ledakan lainnya di atas air.

Gadis kecil berumur dua tahun itu lebih malang nasibnya. Sempat merasakan perutnya robek dan mengeluarkan darah segar, ia merintuh kesakitan sebelum akhirnya tiang layar utama menghantam tubuh mungil itu dan menenggelamkannya ke dasar samudra. Dengan kondisi yang tak lagi berbentuk.

Sebuah sapu tangan merah terombang-ambing bersama banyak serpihan lainnya. Sapu tangan kesayangan gadis kecil yang selalu dibawanya kemana pun.

Nasib Gio tak jauh berbeda dengan adiknya, ketika kedua kakinya terpotong hancur begitu saja, ia berkata lirih, menyelesaikan janjinya beberapa menit lalu, "Ketika aku dan Ajeng dizinkan bersatu, aku bahkan rela menukar nyawaku untuknya."  Tepat ketika ia selesai mengucapkan janjinya, sebuah besi tajam nan terbakar menusuk, menembus jantungnya. Mengakhiri hembusan napasnya.

Tubuhnya lalu terbakar bersama dirjen minyak yang telah menyala-nyala. Hancur kemudian hanyut.

Sungguh malang nasib bocah lelaki tulus itu, belum sempat ia merealisasikan janjinya, alam merenggut nyawanya terlebih dulu.

Langit bergemuruh hebat, tak lama berselang, hujan deras datang, disertai angin kencang dan petir yang bersaut-sautan. Sangat deras seakan ikut menangisi kepergian keluarga bahagia itu, juga turut melarutkan sisa-sisa tubuh yang terlihat mengerikan.

"Iya, tubuh mereka hancur tak tersisa. Kami berusaha keras menemukan potongan tubuh mereka. Tapi tidak ada yang tersisa kecuali serpihan daging dan kulit yang mengambang di lautan lepas."

"Dan entah milik siapa serpihan daging itu."

Tubuhku merinding hebat mendengar penuturan Ibu barusan. Satu kristal bening akhirnya tumpah. Napasku memburu dengan degup yang tak beraturan. Membayangkan kondisi ratusan tubuh yang hancur di atas lautan itu membuat bulu kudukku meremang. Aku merasakan telapak tanganku dingin dan gemetaran. Detik setelahnya tangisku pecah.

Aku menoleh ke Akbar, matanya berkaca-kaca tapi masih sempat tersenyum. Aku menghambur memeluknya, menangis sejadi-jadinya.

"Ba-bagaima-mana kau ku-kuat melalui ini, Ak-bar?" Dengan terbata-bata aku bertanya, bahkan membayangkan kebahagiaan masa kecil yang terenggut seketika itu membuatku begitu perih, ikut terluka.

"Takdir Tuhan membuatku tetap selamat. Mana mungkin aku mengingkari kuasanya dan memilih rapuh lalu menyerah?" Suara Akbar bergetar ketika mengatakan itu.

"Akbar benar. Bahkan ketika ia melihat sendiri kondisi waktu itu, ia masih sempat menenangkan Ibu yang menangis histeris. Ibu tidak menyangka hatinya sekuat itu. Dia benar-benar keturunan sejati seorang Kahfi." Ibu mengusap pipinya dengan punggung tangan.

Ayah mendekat lalu memeluk erat Ibu. Aku menenggelamkan wajahku ke dada bidang Akbar, masih takut dan terluka akibat kabar duka yang baru saja aku dengar. Sama sekali tidak menyangka masa lalu Akbar semenyakitkan ini.

Beberapa detik berlalu, aku lalu melepaskan pelukan Akbar dan menghapus cepat air mata yang masih menderas di pipi.

"Bagaimana, bagaimana kalian tau bahwa saudara kandung Ibu sendiri yang melakukan pembantaian berencana ini?" Sekelebat pertanyaan itu muncul, benar-benar mengusik pikiranku saat ini.

"Waktu itu, ketika usai hari ketujuh kejadian tragis itu terjadi, Akbar menemukan titik terangnya. Di istana yang saat ini kalian tinggali."

****

To be continued ....

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang