Chapter 79

293 25 4
                                    

Aku menghela napas dengan berat. Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus tetap melanjutkan perjalanan ini, atau semua berakhir tanpa ada kejelasan tentang kisah ini.

Akbar memandangku lekat lalu mengangguk setelahnya. Ayah dan Ibu melangkah lebih dulu bersamaan, kami menyusul setelahnya.

Aku semakin erat memeluk Musthafa ketika dua ekor kelelawar besar melintas di depan kami. Tidak akan kubiarkan putraku ketakutan.

"Akbar, apakah hutan ini ada ujungnya?" Aku bertanya sembari berjalan hati-hati. Awas menatap sekitar.

Semak setinggi betis, pohon-pohon besar yang rapat dengan dedaunan lebat ini membuat jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tidak, aku tidak takut hantu. Aku tidak percaya itu.

Aku lebih takut jika tiba-tiba ada hewan buas seperti di lorong tadi yang menyerang kami. Atau ... bagaimana jika keluarga lama itu telah menunggu kedatangan kami dan bersembunyi di sebalik pepohonan?

"Aku tidak tahu, Hanum. Tapi sedikit yang aku tahu, ada lautan luas di salah satu sisi hutan, lalu baru akan ditemui pulau setelahnya. Tapi aku tidak tahu pasti di mana letak lautan itu, sedangkan hutan ini terlihat amat lebat dan luas."

Penjelasan Akbar membawa kabar baik sekaligus buruk. Sama seperti saat kami melewati lorong berbahaya tadi, kami tidak tahu pasti di mana mulut lorongnya, dan ketika kami telah keluar dari sana, permasalahan berikutnya kami tidak tahu di mana ujung dari hutan belantara ini.

Di mana letak lautan yang bisa disebrangi itu hingga kami menemukan pulau yang cukup aman.

"Ayah teramat menyesal telah melibatkanmu dalam perjalanan ini, Hanum. Jika saja kami tidak menjodohkanmu dan Akbar waktu itu, mungkin ceritanya akan berbeda." Ayah menoleh sejenak ke arahku dengan ekspresi sendu, terlihat raut penyesalan di wajahnya.

Aku tersenyum getir. "Aku dulunya memang pernah mengutuk perjodohan ini, Ayah. Aku bahkan rasanya tidak sudi melihat wajah Akbar. Tapi yang terjadi setelahnya justru aku tidak bisa lepas darinya barang sejenak."

"Aku tidak menyesali pernikahan ini. Aku siap dengan semua konsekuensi yang terjadi." Aku berkata mantap sembari menoleh ke arah Akbar yang juga tengah menatapku.

Tatapan kami beradu. Sebuah senyum tulus terbit dari paras tampan di sebelahku.

Jika saja situasinya sedang baik, mungkin sebuah pelukan hangat dan kecupan mesra tengah ada di tengah kami sekarang. Tapi adegan menyenangkan itu tidak bisa dilakukan di perjalanan ini.

"Ibu senang mendengarnya, Hanum." Ibu mengelus puncak kepalaku singkat sembari tersenyum.

"Kau tahu, pada saat pertama kali melihatmu dulu, kami langsung sepakat bahwa kau pantas menjadi pendamping putra kami."

"Kau dewasa, tangguh, berani, dan tegas. Di luar dari itu, kau tak kalah cantik dari semua perempuan yang pernah dikencani Akbar." Ibu tertawa, bergurau. Mencoba mencairkan suasana.

Aku ikut tertawa kecil mendengarnya, tak terkecuali Ayah dan juga Akbar.

Cerita awal kedekatan kami dulu, mainan yang pernah dibawa Akbar ke istana, juga alur sialan yang pernah dia rencanakan waktu itu membuatku tergelitik geli. Terlebih ketika mengingat bagaimana awal Musthafa bisa hadir saat ini. Itu semua menjadi momen lucu sekaligus mendebarkan untuk diingat.

"Hanum tidak ada bandingannya dengan mereka, Ibu. Dia langka." Akbar menyeletuk, aku kembali tertawa.

"Tentu saja. Tidak banyak perempuan seperti aku yang tetap santai dan menjadikan semua perempuan yang kau bawa ke rumah sebagai bahan hiburan. Juga bertindak melawan saat terang-terangan kau ingin menikahi gadis lain. Dasar buaya cap kadal!"

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang