Chapter 62

332 36 2
                                    

Waktu menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Aku terbangun lalu hal yang pertama kuingat adalah Akbar. Setelah mengecek keadaan Musthafa yang tertidur pulas di atas ranjang bayinya.

Membuka pintu perlahan, aku iba ketika melihat Akbar tidur meringkuk di luar kamar. Selimut yang semula dikenakan rapi saat ini terlepas dari tubuhnya. Ingin sekali aku membangunkan lalu mengajaknya tidur bersamaku. Namun itu hanya akan membuat Akbar merasa menang setelahnya.

Aku membenarkan selimutnya. Menutupi hingga ke leher Akbar. Lalu mengelus kepalanya pelan. Bohong jika aku tidak mencintainya. Meskipun masih ada kesal dengan apa yang ia lakukan kemarin, tetap saja perasaanku tidak berubah. Cinta itu sudah mengakar kuat ke dasar hati.

"Aku berjanji, Akbar. Setelah ini kita akan memulai awal yang baru. Kau dan aku yang menjalankan pernikahan ini dengan kesadaran cinta." Perlahan, aku mendaratkan bibirku di kening Akbar. Cukup lama, lalu memilih kembali masuk ke dalam kamar.

****

Beberapa detik setelah pintu kamar tertutup, Akbar membuka matanya. Ia tersenyum tipis lalu memegangi keningnya.

"Aku tau kau mengkhawatirkan aku, Hanum."

"Aku juga berjanji, setelah ini pernikahan kita tidak akan ada lagi salah paham atau pun prasangka. Aku mencintaimu, Hanum. Selalu."

****

Paginya, Akbar kembali melakukan rutinitas hariannya. Memasak sarapan di dapur dengan kaos kebanggaannya. Kemudian siang harinya mencuci semua peralatan makan. Lalu sorenya membersihkan kandang kuda, dan tidur di luar kamar pada malam harinya.

Selama seminggu ini semua berjalan lancar. Akbar menjalani hukumannya dengan baik. Ia koki yang handal. Bahkan berhasil memasak sup daging sapi dengan sempurna. Aku rasa, jika Akbar membuka warung makan di pinggir jalan, akan ramai sekali pengunjung yang datang. Haha.

Eh tidak-tidak. Mana mungkin aku rela melihat suamiku digandrungi banyak wanita di luaran sana.

Mawar yang Akbar tanam seminggu lalu mulai tumbuh. Aku tidak sabar melihatnya besar lalu mekar bersamaan. Pasti akan sangat indah dan harum.

Selama seminggu ini pula, aku melakukan banyak hal yang aku sukai. Belanja sepuas hati—katanya aku harus boros— keliling kota, bermain dengan Musthafa di alun-alun kota, membeli apapun yang aku suka. Semuanya. Tidak lupa aku juga menyumbang sebagian uangku untuk anak yatim piatu di luaran sana.

Senang-senang boleh, tapi investasi akhirat tetap nomor satu. Cukup sadar diri bahwa aku masih jauh dari kategori perempuan shalihah. Untuk itu, dengan menggunakan harta yang aku miliki, aku ingin sering-sering berbagi. Semoga saja uang yang aku keluarkan di jalan kebaikan, pahalanya akan mengalir meskipun nyawaku sudah tak lagi lekat dengan raga.

Jika kalian memiliki banyak uang, akan kalian belanjakan untuk apa uang itu?

****

"Hukumanmu untuk rutinitas seminggu ini selesai. Kau harus menjalani hukuman yang terakhir."

"Siap, Ratu."

Aku lalu membiarkan Akbar menyiapkan dua ribu lembar kertas hitam. Aku tidak tau jenis kertas apa itu. Tapi terlihat tebal, cantik, juga harum. Aku dengar Akbar memesannya dari Paris seminggu lalu.

Lalu tinta emas yang ia gunakan juga berasal dari emas murni. Astaga, sekarang aku jadi merasa bersalah telah menetapkan hukuman itu untuk Akbar. Ini membuang uang banyak! Mubazir sekali.

"Akbar, kenapa kau harus mengeluarkan banyak uang untuk ini? Aku tidak memintamu memakai tinta emas murni dan kertas yang mahal untuk menjalani hukuman ini."

"Apa salahnya? Aku melakukan ini untukmu. Agar kau tidak lagi marah."

"Tapi ini mubazir. Kau bisa menggunakan uang ini untuk berbagi ke mereka yang membutuhkan."

"Tenanglah, Hanum. Sebelum aku membeli banyak keperluan pribadi, aku sudah banyak mengeluarkan uang untuk keperluan sosial. Aku sudah membangun rumah sakit di Palestina, sekolah di Afrika, menyumbang ribuan Al Qur'an dan sajadah di seluruh masjid Indonesia, dan menjadi donatur tetap di beberapa sekolah kecil. Apa kau pikir suamimu ini tidak peduli sama sekali dengan kehidupan kita di akhirat sana?"

Aku tertegun mendengar penjelasan Akbar mengenai apa saja yang telah ia belanjakan. Aku akui, Akbar bukan lelaki pelit. Ia tidak pikir dua kali untuk mengeluarkan uangnya di jalan kebaikan. Tapi aku baru tau rinciannya ketika ia mengatakannya. Huh, sepertinya yang dikatakan Akbar waktu itu memang benar. Aku tidak menyadari apapun tentangnya. Aku sibuk dengan duniaku sendiri. Padahal ada banyak hal dari suamiku yang aku tidak tahu.

"Sudahlah. Sebaiknya kau istirahat. Jika kau tetap di sini, maka aku tidak akan menyelesaikan ini, Hanum." Akbar tersenyum, lalu aku membalas senyumnya dan bergegas meninggalkan Akbar di ruangan kerjanya sendiri.

Aku ingin ke balkon menikmati secangkir teh jahe hangat dan biskuit coklat.

****

"Alsava, aku tidak melihat Ajeng beberapa hari ini. Kemana perginya adik iparku itu?" Selama Akbar menjalani hukuman, dua hari di awalnya aku masih melihat Ajeng berkeliaran di istana ini. Tapi setelahnya aku tidak pernah melihatnya lagi.

Padahal aku belum sempat meminta maaf dengan gadis yang sempat aku gunduli rambutnya itu. Tapi jika dipikir-pikir, aku melakukan itu juga karena ulahnya dan Akbar yang melampaui batas.

"Sudah pulang, Ratu." Alsava menjawab sopan sembari menuangkan teh ke dalam cangkir batu.

"Pulang? Kemana?"

"Maaf, Ratu. Saya tidak tahu. Empat hari lalu, tengah malam Raja mengantar Nona Ajeng pergi. Katanya mengantarnya ke bandara untuk pulang."

Tengah malam? Pulang? Kenapa Akbar mengantar Ajeng sembunyi-sembunyi? Padahal, bisa saja dia meminta pengawal kerajaan untuk mengantarnya di siang hari. Dan juga, Akbar tidak memberi tahuku soal ini. Kemana Ajeng pulang? Di mana rumahnya? Akbar seakan masih menutupi identitas Ajeng yang sebenarnya. Aku harus menanyakannya langsung pada Akbar nanti.

"Baiklah. Kau boleh pergi, Alsava. Jangan lupa periksa keadaan pangeran di kamar. Pastikan dia baik-baik saja."

"Baik, Ratu." Lalu gadis itu pamit undur diri.

Aku berdiri, lalu mendekat pada pembatas balkon. Mengamati keadaan istana dari atas. Masih ada beberapa hal yang tidak aku ketahui mengenai istana ini.

Siapa sebenarnya Ajeng? Jika benar dia adik kandung Akbar, kenapa identitasnya di tutup-tutupi? Apa ini ada kaitannya dengan misteri waktu itu?

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang