Chapter 64

359 36 15
                                    

"Tulisan yang ke-dua ribu."

"Bagaimana. Kau puas, Sayang?"

Aku berdeham sebentar lalu melihat lembar demi lembar kertas yang telah Akbar selesaikan. Tulisan tangannya cukup rapi.

"Baik."

"Sekarang tempel ini di semua sisi istana."

"Tunggu sampai aku membingkainya dulu." Akbar lalu meminta beberapa pelayan membantunya memasukkan setiap lembar kertas ke dalam bingkai kaca berukuran sedang.

"Tidak ada larangan untuk meminta mereka memasukkan ini ke dalam bingkai, 'kan?"

Aku mengangguk. Kasihan juga jika Akbar harus melakukan ini sendirian lagi. Aku rasa tangannya saat ini juga sudah kebas.

"Aku tidak memintamu memasukkan ini ke dalam bingkai. Kau terlalu membuang-buang uang, Akbar." Aku menghela napas melihat tumpukan bingkai kaca itu. Pasti harganya mahal.

"Sudah aku katakan, jangan terlalu hemat, Hanum. Untuk apa kita memiliki banyak uang tapi tidak bisa menikmatinya?"

"Lagi pula, kalau tidak dimasukkan ke dalam bingkai kaca, nanti bisa berdebu atau luntur. Aku tidak mau itu terjadi. Biarkan orang-orang terus membaca ini agar mereka tau bahwa aku benar-benar meminta maaf dengan sungguh kepada ratuku." Akbar tersenyum, lalu melanjutkan aktivitasnya memasukkan lembaran kertas tersebut.

Aku mengalah, membiarkan Akbar melakukan hal yang dia suka. Lagi pula, aku harus segera menanyai Akbar banyak hal mengenai rahasia kemarin.

****

"Hanum, lihat, dua ribu kertas permintaan maafku sudah ada di setiap sisi istana. Semua orang yang lewat akan membacanya." Akbar membawaku berkeliling istana untuk melihat apa yang seharian ini ia lakukan.

Aku, Akbar Muhammad Kahfi tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama ataupun membuat istriku Hanum Wijaya Setyaningrum terluka.

"Luar biasa," ucapku, lalu menarik simpul senyum.

Akbar sumringah mendengarnya. Ia lalu tanpa aba-aba memelukku sangat erat. "Akhirnya aku selesai dengan hukuman ini."

"Kau lihat ini. Tanganku sampai kapalan selama seminggu lebih melakukan banyak pekerjaan," adunya dengan nada merajuk. Aku terkikik geli mendengarnya.

"Sejak kapan seorang Akbar menjadi manja dan cengeng seperti ini?"

"Sejak aku jatuh cinta kepada Hanum. Dia telah merubahku menjadi budak cinta yang sejati."

Aku mencubit perutnya gemas. "Seperti anak SMA."

"Aku ingin kembali seperti anak SMA. Kira-kira, akan seperti apa, ya, kisah kita jika bertemu waktu SMA?"

"Haha. Entahlah. Tapi pasti akan berbeda."

Kami tertawa bersama. Akbar lalu merenggangkan pelukannya dan membuatku menghadapnya. Ia memegang kedua bahuku. Tawanya mereda lalu berubah menjadi tatapan yang serius.

"Apa kau benar-benar sudah memaafkan aku?" Akbar berkata sungguh-sungguh, tak membiarkan aku mengalihkan tatapan.

Aku tersenyum lalu mengangguk. "Untuk apa lama-lama marah? Bukankah kita akan memulai lembaran baru?"

Akbar tersenyum lepas setelahnya lalu kembali menarikku ke dalam pelukannya. "Aku bahagia sekali, Hanum. Sangat bahagia."

Membalas pelukannya, aku ikut merasakan kedamaian. "Hanya ada kau dan aku. Jangan pernah berpikir untuk membawa perempuan lain ke dunia kita."

Pria yang telah berhasil membuatku jatuh hati ini lalu mencium keningku lama dan menatapku dengan tulus. "Tidak akan, Sayang. Kisah kita tidak akan ternodai dengan kehadiran perempuan lain."

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang