"Musthafa!" Aku langsung memeluk putraku ketika Ibu masuk ke ruangan. Aku melihat jelas raut kantuk masih menguasai bayi kecilku itu. Tidurnya pastilah terganggu.
"Ibu, apakah mereka yang kalian maksud ... keluarga lama itu?" Aku takut-takut menanyakan hal ini, tapi dari semua yang terjadi sekarang, dugaan terbesarku jatuh pada kemungkinan terburuk.
Ibu mengangguk, setengah ingin menangis.
"Entahlah bagaimana ceritanya bahkan setelah belasan tahun berlalu mereka berhasil membaca jejak kita."
Aku mematung hebat. Cerita tentang pembunuhan berencana yang baru usai diceritakan beberapa waktu lalu kembali terngiang di kepalaku.
"Tapi kenapa kita harus lari? Bukankah tempat ini dijaga dengan baik? Juga kita bisa mencari bantuan jika mereka bertindak macam-macam." Aku mencoba mencari jalan keluar paling masuk akal dari permasalahan ini.
Istana yang semula menjadi tempat ternyaman mengapa pula berubah seakan menjadi tempat paling menakutkan sekarang.
"Tidak bisa, Nak. Kau tidak mengenal mereka. Mereka bahkan telah berhasil meledakkan kapal itu lalu menghapus semua jejak. Sebelum datang ke mari mereka telah melakukan persiapan sangat matang."
Aku semakin tercekat mendengar penuturan Ibu.
"Istana ini telah dikepung, Nak. Dan mereka hanya mencari keturunan Kahfi. Mereka tidak ingin ada yang tersisa dari garis keturunan ini."
Aku seakan merasakan godam besar menghantam kesadaranku. Kupeluk Musthafa dengan begitu erat. "Tidak akan kubiarkan siapapun menyakiti putraku."
Suara gemuruh terdengar dari belakang kami. Lantai yang kami pijak bergetar hebat.
"Akbar, apa yang terjadi?" Aku bertanya cemas.
Akbar dan Ayah berdiri bersisian. Lantai semakin bergetar, suara gemuruh itu semakin kuat. Lima belas detik setelahnya lantai yang tadinya bergetar kini membelah menjadi dua. Aku hampir saja terpleset jika Akbar tidak memegangiku.
"Ini satu-satunya pintu rahasia yang tidak mereka temukan. Kita akan keluar dari sini." Ayah berujar.
Aku melonggokkan kepala ke bawah, melihat kegelapan pekat di bawah sana.
"Ke mana jalan ini berujung?"
"Ke hutan rimba, jauh di kedalaman bagian selatan istana."
"Bukankah hutan itu jarang sekali dijamah? Hutan lebat dengan semak belukar dan tumbuhan lumut." Aku takut memikirkan keadaan di bawah sana yang membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri.
"Tidak ada pilihan lain, Nak." Ayah berkata lirih lalu membuang napas berat setelahnya.
"Bunda ..." Musthafa terbangun. Aku segera memeluknya, kembali menidurkannya.
"Ayo, lewati tangga ini." Ayah memimpin di depan, turun melalui tangga gantung pertama kali.
Akbar meminta Musthafa dari pelukanku, lalu memintaku berjalan lebih dulu bersama Ibu di depan.
"Hati-hati, Hanum." Dengan gelisah aku takut-takut menuruni tangga gantung itu. Pijakannya licin dan lembab, terpleset sedikit saja akan jatuh berdebum di lorong gelap bawah sana. Hanya Akbar dan Ayah yang membawa penerangan.
Sebuah lampu kecil yang digantungkan di bagian sisi kanan celana mereka.
Entah apa yang menunggu di kegelapan di bawah sana, tapi hatiku tidak baik-baik saja memikirnya.
"Arrrhh!"
"Ibu!" Sigap aku menangkap lengan ibu yang hampir saja jatuh berdebum.
"Ibu, kembali ke anak tangga dengan hati-hati." Akbar sama cemasnya. Ia juga kesusahan sembari menggendong Musthafa.
Kami kembali menuruni anak tangga yang entah berada di mana ujungnya. Sekitar lima belas menit turun, belum ditemui ujung dari tangga ini.
"Akbar, apa kau pernah melalui jalan ini sebelumnya?" Aku bertanya setelah berhenti sejenak, mengusap peluh di kening.
"Tidak. Belum pernah sama sekali. Ini tangga darurat yang tidak pernah dijamah kecuali dalam keadaan genting. Dan ketika awal di bangun sampai sekarang, baru kali ini menemui keadaan yang tidak bisa melalui jalan keluar lain."
Aku semakin gentar mendengar penuturan Akbar. Bahkan ia sendiri tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa kami. Bagaimana jika ternyata keluarga lama itu sudah menunggu di bawah sana? Atau ... ada hewan buas yang tidak pernah kami temui sebelumnya sudah mencium kedatangan kami? Tidak ada yang tahu.
Akbar hanya tau ujung dari lorong yang nanti menuju kedalaman hutan rimba. Namun, sebelum sampai di sana, tentunya akan melewati jalan yang panjang.
Enam menit kemudian kami akhirnya sampai pada unakan tangga terakhir.
Aku membuang napas lega. Musthafa baiknya tidak terbangun dan rewel. Dia tidur di gendongan Akbar.
"Maaf, aku tidak sempat membawa minum." Akbar merasa bersalah.
"Bukan waktunya memikirkan itu." Ayah berkomentar.
"Ibu baik-baik saja?" Aku bertanya pada Ibu yang terlihat begitu kelelahan. Gaun emerald miliknya terlihat kusam dan berdebu. Keringat membasahi wajah dan lehernya.
Ibu tersenyum, mengangguk.
"Ayo!" Akbar segera mengajak kami bergegas.
Pada saat itulah aku merasakan perutku bergejolak. Sangat mual dan muntah saat itu juga. Aku mencium bau amis darah di sini. Aromanya begitu dekat dan busuk. Ini ... seperti bangkai.
"Sayang, kenapa?" Akbar bertanya cemas.
"Seperti ada bangkai di sekitar kita." Aku tidak tahan dan kembali memuntahkan isi perutku.
"Hanum benar, Ibu juga menciumnya."
Akbar menyinari sekitar lorong itu dengan senter yang ia bawa. Lorong yang tidak pernah terjamah selama puluhan tahun ini bisa saja menyimpan banyak misteri yang tak terkuak.
"Tempat ini tidak aman. Sebaiknya kita bergegas."
****
Entah kenapa aku jadi ikut mual
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasíaCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...