Chapter 43

395 37 19
                                    

Pada suatu malam yang telah sunyi dan larut, tidak ada lagi suara bising dari benda yang dijalankan atau sekadar derab langkah orang-orang. Lewat pukul dua belas malam semua penghuni istana telah terlelap, setelah seharian bekerja untuk tuan Rajanya.

Sepasang insan berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju kamar mereka. Saling merangkul mesra dengan kemudian berhenti di depan pintu kamar. Wanita di samping pria itu bahkan tanpa sengaja menyenggol pot yang terbuat dari kaca di meja yang terletak di samping pintu masuk. Pecahan kaca itu berserak berhamburan hingga ke lorong-lorong.

Hanya sedikit berjengkat kaget, lalu acuh. Tak peduli jikalau serpihan kaca itu dapat melukai orang lain yang lewat.

Seorang perempuan berambut pendek dengan terusan selutut itu bergelayut manja di leher pria di depannya. Tak lain adalah Sang Raja. Akbar Muhammad Kahfi.

Ia beberapa kali membisikkan kalimat yang membuat Sang Raja tersenyum kecil lalu membelai pipinya dengan kabut nafsu.

"Apakah kita akan melakukannya sekarang, Akbar?" tanya Ajeng dengan suara serak dan sedikit parau. Ia terlalu banyak minum.

Akbar menghela napas pendek lalu menangkup kedua wajah Ajeng dan menatapnya.

"Bukankah kita akan segera menikah? Jadi apa salahnya melakukan itu sekarang?" kata Akbar dengan pelan. Suaranya juga terdengar serak dan parau.

"Aku tak sabar merasakan tubuh indahmu, Ajeng," lirihnya, membuat pipi Ajeng bersemu merah karena itu.

Ajeng lalu semakin mendekat, tapi kini mengerucutkan bibirnya.

"Tapi aku takut hamil. Bukankah lebih baik jika aku hamil ketika sudah menjadi istrimu hmm?"

Akbar tersenyum kecil menanggapi ucapan Ajeng, ia kembali membelai pipi halus Ajeng. Sebelah tangannya berada di pinggang gadis itu.

"Aku akan berhati-hati, aku janji tidak akan mengeluarkannya di dalam."

"Sungguh?" tanya Ajeng memastikan.

"Iya, Sayang. Jadi, ayolah. Kau membuatku tidak tahan. Bukankah kau tau si Hanum yang menyebalkan itu tak lagi bisa memuaskan aku?"

"Haha kau benar, Akbar. Dia sama sekali tidak berguna. Jadi ayo kita bersenang-senang."

Ketika usai mengucapkan itu, Ajeng menarik masuk Akbar masuk ke kamarnya. Lebih tepatnya kamar Hanum yang sengaja ia rebut paksa dari pemiliknya.

Tanpa keduanya sadari, Hanum mendengar dan melihat semuanya dengan jelas. Dari sebalik tiang kokoh di samping kamar mereka.

Perempuan yang telah menjadi seorang ibu itu menahan ledakan tangisnya. Hatinya tercabik-cabik, terasa ada bom waktu yang siap meledak saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat, kakinya lunglai, tak mampu menahan bobot badannya sendiri. Pertahanannya runtuh, punggungnya lalu merosot pada tiang besar itu.

Beberapa detik menangis, Hanum lalu cepat menghapus air mata yang mengalir dengan angkuhnya oleh punggung tangan.
Wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya mengepal kuat. Ia tak tahan lagi dengan perilaku buruk yang dilakukan suaminya di depannya sendiri.

Malam ini mereka melakukan hubungan itu di kamarnya. Kamar yang telah Hanum tempati lama, telah menjadi saksi bisu percintaannya dengan Akbar, saksi bisu kelahiran putra pertamanya. Juga saksi bisu berbagai kebahagiaan yang pernah ia dapatkan dari Sang Raja.

Lalu, apa sekarang? Kamar itu dijajah, diambil alih oleh seorang perempuan asing. Kemudian menggunakannya untuk bermaksiat dengan Rajanya.

Hanum berdiri, sorot matanya menatap pintu kamarnya itu dengan tajam. Bak sinar laser yang dapat menembus pintu itu hingga membakar penghuni dalamnya.

Hanum berjalan cepat, amat cepat hingga tanpa sadar telah menginjak serpihan beling dari pot yang dijatuhkan Ajeng.

Ia meringis pelan, namun rasa sakit akibat luka di telapak kakinya itu tak sebanding dengan rasa sakit yang kini menganga lebar dalam dada.

Hanum terus berjalan, ia berniat mengetuk keras pintu itu. Jika tidak dibuka, ia bersumpah akan mengambil kapak untuk menghancurkannya, jika perlu meledakkan bom di depan sana.

Kata sandi dari pintu modern itu bahkan telah Akbar ganti hingga Hanum tak lagi bisa masuk ke kamarnya. Sungguh keji perlakuannya!

Hanum semakin dekat, ia kini tepat berada di depan pintu kamar. Ketika kepalan tangan itu ingin mengetuk pintu dengan keras, keningnya mengerut. Pintu itu lupa ditutup dengan benar oleh penghuni dalamnya.

Hanum berdecih. Kepalan tangan yang sudah mengudara itu ia urungkan tatkala matanya melihat sendiri suaminya tengah menindih tubuh dari seorang wanita yang bukan dirinya. Masih mengenakan pakaian lengkap, mungkin sebentar lagi ....

Hanum lalu refleks menutup kedua telinganya ketika suara erangan dan desahan itu terdengar. Tubuh Hanum lemas, amarah yang tadinya memuncak bagai bom waktu yang siap meledak itu kini melebur dengan tangis.

Tidak! Hanum tidak sanggup jika berada di tengah mereka lebih lama lagi. Tubuhnya semakin gemetar hebat. Sekali lagi, Hanum mendengar lenguhan dari bibir Ajeng. Di atas kasur kamarnya sendiri.

Hanum mundur, ia berlari cepat meninggalkan kamar itu dengan tangis yang menggenang di pipinya. Melewati lorong yang sama, kembali, kaki bersih itu menginjak serpihan kaca. Perih. Namun tidak seberapa dengan denyutan yang terasa di dadanya. Begitu tersayat dalam, menciptakan luka tak kasat mata. Sakit, tapi tidak berdarah, tapi sakitnya mengalahkan luka penuh darah.

Hanum terus berlari, darah yang mengucur di telapak kakinya itu tidak ia perdulikan. Perempuan dengan rambut sepunggung itu menuju balkon utama istana ini. Ia kemudian jatuh tersungkur, tersandung kakinya sendiri.

Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Di tengah malam yang sunyi, tangisnya memecah keheningan. Sungguh pemandangan yang amat menyesakkan. Seorang Ratu di istananya sendiri, tersingkir oleh wanita asing, dan Sang Raja bahkan dengan tega memperlakukannya sedemikan rupa.

Hanum meraung, ia memukuli dadanya yang terasa amat sesak. Tangisnya berubah jadi isakan yang terdengar pilu. Tak ada lagi kata yang sanggup keluar dari bibirnya, hanya suara tangis di malam yang panjang.

Hanum terus menangis hingga kedua matanya bengkak. Terlihat sangat berantakan.

"Mengapa harus kau tangisi lelaki sepertinya, Hanum?"

Suara bariton di depannya membuat Hanum yang semula menunduk dengan tangis itu lalu mendongak. Menatap seorang pria yang tidak ia pikirkan kehadirannya sekarang.

"Zidan?"

****

PANAS HEIII! AKU IKUT EMOSIIII 😭😭

PENGEN NABOK AJENG SAMA AKBAR!

SILAHKAN LAMPIASKAN EMOSI KALIAN DI SINI. GRATISSS!!

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang