Chapter 49

370 37 6
                                    

Emosiku belum mereda, tapi aku usahakan untuk tetap berpikir jernih saat ini. Aku tidak ingin berubah menjadi psikopat. Pembunuh berdarah dingin.
Tidak. Hanum yang cantik lagi manis mana boleh berubah menjadi monster semenyeramkan itu.

Tapi, kelakukan Ajeng juga harus dihukum bukan?

Baiklah, ayo kita hukum dia bersama!

****

Setelah Alsava menyeret tubuh Ajeng dari kolam renang itu. Aku meminta Alsava membawanya ke ruang rahasia. Tepatnya ada di lorong sempit lantai dua.

Memasuki lorong itu lalu kemudian menurunkan lampu hias ke arah bawah sebagai tuas rahasia, sebuah pintu dari dinding yang semula tertutup rapat kini telah terbuka.

Ada tangga yang menuju ruangan atas.

Aku membantu Alsava membawa tubuh Ajeng. Lumayan berat. Padahal tubuhnya lebih kurus dari pada aku. Mungkin dosanya yang mengakibatkan berat badan si gadis tidak perawan ini menjadi berat. Ups!

Alsava dan aku bersusah payah menaiki tangga. Hingga sampai di lantai atas, aku menutup kembali pintu di bawah sana dengan menaikkan lampu hias ke arah atas, di bagian sisi dinding sebelah kiri.

Setelah memastikan pintu tertutup, aku membawa Ajeng ke dalam sebuah ruangan yang lebarnya hanya tiga kali tiga meter.

Menyalakan saklar lampu. Ruangan ini penuh dengan debu dan jaring laba-laba. Dindingnya berwarna abu-abu, dan sudah mengelupas.

Aku menemukan ruang rahasia ini saat dulu suka iseng mengerjai Akbar.

"Dudukkan dia di kursi itu!" perintahku pada Alsava yang diangguki dengan patuh.

Ruangan ini kosong. Tidak ada perabotan apapun. Aku telah meminta Alsava mengosongkan semuanya kemarin.

Hanya ada sebuah kursi, kotak persegi, cermin besar, dan .... sarkofagus batu.

Setelah si Ajeng dengan wajah selalu menyebalkan itu didudukkan rapi di sebuah kursi kayu dengan mata masih terpejam—mungkin efek dari pukulanku lumayan oke— aku berkacak pinggang sembari menyunggingkan senyum.

Sudah lama sekali aku membiarkan dia berkeliaran bebas lalu menjajahku. Sekarang waktunya pembalasan.

"Nona Ajeng yang malang. Maafkan Ratu Pertama karena melakukan ini padamu," kataku dengan senyum merekah.

"Ambil kotak itu, Alsava!"

Alsava berjalan lalu mengambil sebuah kotak berukuran sedang yang telah aku siapkan. Tidak menyangka sebenarnya bahwa kejadiannya akan begini. Padahal, niatku kemarin adalah membawa Ajeng dalam keadaan sadar menuju kemari tanpa adanya baku hantam sebelumnya.

Tapi, tahu sendiri kan bagaimana gadis itu tadinya membuatku berang. Benar-benar menyebalkan!

Untung saja aku tidak sampai hati untuk melukainya. Ya, hanya sedikit pukulan dan tamparan tidak akan membuat perempuan tipe sepertinya akan sakit mental bukan?

Tubuhnya tidak ada sama sekali mengeluarkan darah ataupun luka hingga memar kebiruan. Hanya wajahnya yang sedikit memerah bekas tamparanku tadi. Juga aku rasa, sedikit nyeri di rahangnya. Tapi tidak parah. Tidak ada yang patah. Aku pastikan itu.

"Bersyukurlah karna aku masih memiliki nurani, Ajeng. Jika tidak, mungkin nyawamu sudah berada di alam lain saat ini."

Aku membuka kotak berwarna biru tua berukuran sedang itu, lalu mengeluarkan alat cukur. Haha. Kalian bisa menebak apa yang akan aku lakukan dengan Ajeng.

Iyups. Menggundulinya.

Rambutnya itu kan sudah pendek. Dan terlihat sangat menyebalkan juga jijik jika mengingat tangan Akbar pasti pernah menyentuhnya. Jadi, akan lebih baik aku rasa jika si Ajeng ini berubah menjadi botak sekalian. Nanti akan dikira menderita sakit cancer. Hahaha.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang