"HANUM, MENYINGKIR DARI SANA!"
Aku terpelonjak kaget ketika dengan sigap Akbar menarik tubuhku untuk menjauh dari titik yang semula aku pijaki. Kami berdua berakhir terguling di antara bebatuan.
Ayah menarik cepat belati miliknya, kemudian sama seperti sebelumnya, tepat sasaran melemparkan belati tersebut ke sesuatu di depan sana. Suara mendesis terdengar menakutkan.
Meksipun masih kaget dan setengah takut, juga dengan punggung yang nyeri karna terhantam bebatuan, aku menguatkan diri untuk dengan cepat berdiri dan membantu Ibu menenangkan Musthafa yang kembali menangis. Akbar dengan segera membantu Ayah.
Seekor ular kobra sebesar paha manusia dewasa terkapar tak berdaya di antara bebatuan dan tanah. Darah terciprat dari bagian kepalanya. Belati milik Ayah tepat mengenai kepala depannya, menembus hingga bagian belakang.
Aku merinding hebat melihat ular beracun sebesar itu di depanku. Salah satu hewan yang membuat nyaliku ciut adalah ular. Satu gigitan saja dapat membunuh dengan menyakitkan.
Akbar lalu menindih ular tersebut dengan bongkahan batu-batu besar yang ia dapat dari sekitar lorong. Memastikan bahwa ular tersebut tidak akan lagi bisa mengejar.
Sementara itu Ibu sama sepertiku, diam membisu. Bahkan terlihat pucat pasi melihat apa yang baru saja terjadi.
"Tempat ini sangat berhahaya, Nak." Ibu berujar lirih, lebih terdengar setengah berbisik takut.
Aku mengangguk, sembari menepuk-nepuk pelan punggung Musthafa agar berhenti menangis.
Wahai, anakku belum cukup umur untuk menyaksikan semua ini.
"Ayo semuanya! Kita harus segera keluar dari sini." Akbar memberi instruksi.
Ayah meminta Akbar berjaga di depan barisan, sedangkan di bagian tengah aku dan Ibu. Ayah menjaga barisan belakang. Belati miliknya ia biarkan tetap tertancap di kepala ular tersebut, karena berbahaya jika mencabutnya sedangkan ada racun yang tertinggal di belati itu.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Lorong yang kami lewati semakin gelap dan pekat. Tanah tidak rata dan bebatuan yang semula kami lewati kini berganti menjadi tanah yang licin dan lembab. Banyak lubang mengangga di segala sisi. Kami harus lebih ekstra hati-hati sekarang.
Sesekali kawanan hewan melata seperti kalajengking dan lipan merayap di dinding maupun celah-celah bebatuan. Kami saling melindungi satu sama lain dari kemungkinan terburuk yang terjadi.
Sejauh kurang lebih tiga puluh meter setelahnya, kami menemukan danau kecil dengan air yang jernih lagi bening. Entah bagaimana danau itu ada dan terbentuk, aku tidak peduli, tenggorokanku rasanya tidak sabar untuk meneguk air tersebut.
"Sebentar, Hanum." Akbar mencegahku. Ia mendekat ke sumber air tersebut lalu memeriksa.
"Aku takut air ini beracun."
Sembari menunggu Akbar memeriksa keadaan air di danau itu, aku mengedarkan pandangan ke seluruh lorong yang tadi kami lewati. Entah lorong ini terbentuk secara alami atau buatan, aku tidak terlalu pandai menganalisa. Namun, yang pasti adalah lorong ini tidak pernah terjamah oleh manusia.
Tidak ada tanda-tanda jejak kaki atau bekas kehidupan apapun di sini. Siapa juga yang mau meninggali lorong gelap yang penuh bahaya. Hewan-hewan saja barangkali hanya hewan buas yang bisa memiliki kuasa besar untuk memutuskan membuat sarang dan tinggal di sini.
"Airnya aman. Kita bisa meminum ini." Akbar berujar, aku menghembuskan napas lega dan segera mendekat untuk mengambil minum.
Akbar meminta Musthafa dari gendongan Ibu dan memberikannya air yang serupa. Selama kurang lebih empat menit kami memuaskan dahaga untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Jika menuruti kemauan, kami butuh istirahat lebih lama bukan sekadar untuk meminum air. Namun, mengingat bahwa bisa saja keluarga lama itu juga tengah mengejar di belakang atau memblokade jalan di depan sana, kami memaksakan diri tetap melanjutkan perjalanan. Sekurang-kurangnya air tadi bisa sedikit mengganti tenaga yang terkuras.
Tidak ada wadah apapun yang bisa aku ambil untuk membawa bekal air ke perjalanan selanjutnya. Maka dari itu masing-masing dari kami benar-benar meminum banyak.
"Semoga air ini benar-benar tidak beracun." Sudah dipastikan cerita ini akan berakhir menyedihkan jika kami semua mati terkapar tak berdaya karena keracunan air di lorong menakutkan ini.
"Ayo! Segera! Menurut perkiraanku, mulut lorong ini tidak jauh lagi dari sini. Mungkin delapan belas sampai tiga puluh meter lagi."
Ibu yang sudah terlihat membaik dari sebelumnya lalu kembali berdiri dan melanjutkan perjalanan bersama kami. Kali ini aku meminta agar Musthafa bersamaku.
"Biar aku yang sejenak menggantikan menggendong Musthafa, Ibu." Ibu tidak banyak protes dan mengangguk.
Kami kembali melanjutkan perjalanan.
Satu masalah teratasi, satu masalah lain timbul. Lampu dan senter yang dibawa Akbar mulai meredup. Sedangkan kami tidak tahu pasti apakah di depan sana penerangan dari rembulan cukup untuk melihat keadaan sekitar atau tidak.
"Mungkin sebaiknya kita membuat penerangan dari api."
"Tidak ada bahan untuk membuat obor, Hanum. Mungkin kita bisa menggunakan bebatuan itu untuk memantik api. Tapi kita tidak menemukan barang untuk membawa api itu ke perjalanan."
Aku menggigit bibir bawah dengan cemas. Bayangan hewan-hewan berbahaya yang tadi menyerang kami masih berseliweran begitu saja.
"Mungkin sebaiknya kita secepat mungkin keluar dari lorong ini dan cepat menemukan penerangan lain. Atau kita akan berjalan dalam kegelapan hutan belantara." Semuanya mengangguk, tak terkecuali Ibu.
Kami mempercepat langkah. Sesekali aku hampir tersandung karena banyak lubang dan batu-batu yang luput dari pandangan. Sesekali juga Ibu terpeleset, mengingat tanah yang pijaki cukup licin. Beberapa lumut bahkan terlihat memenuhi bongkahan batu-batu besar.
"Hati-hati, Hanum."
"Hati-hati, Ibu."
Akbar mengingatkan.
Ayah menyiapkan belati lain di sakunya. Ia membawa lebih dari satu belati.
"Akbar, berjalan tiga langkah lebih depan untuk berjaga-jaga." Ayah memberi instruksi. Akbar mengangguk cepat.
Aku sendiri memeluk Musthafa dengan erat sembari mengelus punggungnya dengan sayang. Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan sesuatu melukai putraku.
"Bun-nda." Musthafa menggeliat sejenak lalu dengan mata bundarnya itu lekat menatapku.
"Kenapa, Sayang?"
Permata kecilku ini kembali memelukku. Tidak mengatakan hal apapun lagi. Maafkan, Bunda sayang, Bunda memberimu masalah sedini ini. Harusnya tidurmu nyenyak dalam buaian, bukan melakukan perjalanan berhahaya seperti ini.
"Hanum, apa semuanya baik-baik saja?" Akbar menoleh ke belakang sejenak. Aku mengangguk yakin, tidak ingin membuat keadaan semakin tegang.
Tujuh menit terus berjalan, kami akhirnya mendapatkan kabar baik; mulut lorong terlihat.
Aku dan ibu saling berpandangan dan tersenyum lega.
"Sekurang-kurangnya kita tidak terjebak di lorong ini lagi." Ayah berkomentar, berdiri bersisian bersama kami.
"Iya, itu memang benar. Tapi lihatlah itu." Akbar menunjuk kegelapan di depan sana. Mata kami semuanya melihat ke arah yang ditunjuk Akbar.
Hutan gelap dengan pohon dan semak rapat-rapat di depan sana berhasil membuatku menelan ludah dengan susah payah. Suara auman serigala terdengar dari kejauhan. Burung hantu saling memberi sinyal satu sama lain. Beberapa ekor kelelawar melintas, berburu mangsa.
"Maaf semuanya, perjalanan kita belum berakhir."
****
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...