Chapter 51

386 34 0
                                    

Kemarin, saat Ajeng baru saja keluar dari Sarkofagus batu itu lalu kaget mendapati pantulan dirinya di cermin yang terlihat seperti hantu, ia berteriak kencang lalu berlari tak tentu arah.

Gadis itu kehilangan kendali saat dirabanya kepala yang kini telah botak. Baju warna putih yang dikenakannya juga membuat Ajeng benar-benar kalut.

Ingatannya berputar cepat. Mengenai istana yang bukan menjadi haknya, barang-barang milik Hanum yang ia rebut tanpa peduli, Hanum yang pernah ia hina, hingga suaminya, Akbar, yang ia peluk, ia tiduri.

Ajeng menangis sejadi-jadinya. Merasa bersalah, salah melangkah. Ajeng ingat, terakhir kali ia tengah memperolok Hanum di depannya. Lalu perkelahian itu terjadi. Aksi baku hantam itu membuat Ajeng tak sadarkan diri hingga membuatnya mati. Begitu pikirnya.

Perempuan yang sekarang menangis tersedu-sedu itu merasa sangat menyesal sudah memilih jalan ini. Suatu pilihan yang harusnya tak pernah ia ambil dalam hidupnya. Keputusan untuk masuk ke dalam kehidupan seorang Hanum Wijaya Setyaningrum yang harusnya tak pernah dilakukan.

Apa yang akan terjadi sekarang? Bagaimana jika ia masuk neraka karena telah banyak menyakiti orang lain?

Ajeng semakin terisak.

Ia menggigil takut. Membayangkan sebentar lagi akan ada malaikat yang mendatanginya.

"Ini salahmu, Akbar. Ini salahmu!" desisnya di sela isakan.

Ajeng mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Semuanya gelap, pekat, sunyi, dan terasa dingin.

Gadis itu saking takut dan kalutnya, hingga tidak menyadari sesuatu bahwa; mana mungkin di dalam kuburan ada cermin sebesar itu dengan lampu yang berpendar terang. Juga peti mati yang tidak ditutup rapat.

Sepertinya semesta sedang mendukung Hanum untuk melakukan pembalasan itu.

Ajeng merangkak pelan, berusaha mencari pegangan. Namun yang ia dapat hanya angin. Kosong. Tidak ada apa-apa di sini.

Suara derap langkah seseorang membuat jantung Ajeng berdetak semakin kencang. Ia mencicit. Memeluk lututnya dengan perasaan takut luar biasa.

"Malaikat?" tanyanya lirih pada dirinya sendiri.

Ajeng memejamkan matanya rapat-rapat lalu membenamkan kepalanya pada sela kaki yang ditekuk.

Gemetar, Ajeng mengigit bibir bawahnya untuk tidak menimbulkan suara isakan yang kencang.

"Ajeng!"

Ketika panggilan itu didengarnya, Ajeng langsung bersujud. Ia menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala resah dalam diri.

"Ampun malaikat ampun!"

Ajeng terus bersujud dalam-dalam sembari menangis dan terisak dalam.

"Jangan cambuk aku malaikat. Aku mengaku salah telah mengganggu Ratu Hanum."

"Tolong beri aku kesempatan untuk meminta maaf kepada Ratu."

"Ampun!"

Ajeng tak kuasa menahan semua rasa bersalah dan menyesalnya. Ia semakin gemetaran ketika sebuah tangan menyentuh kedua bahunya dan menuntunnya untuk duduk.

"Ajeng. Ini aku. Akbar."

Ajeng terhenyak. Ia berhenti menangis seketika lalu mendongak.

Cahaya remang-remang dari lampu cermin di sebelahnya memberikan penerangan minim pada wajah di depannya. Ajeng masih tak percaya.

"A-Akbar? Kau sudah mati juga?"

"Apa yang kau katakan?"

Ajeng lalu bergegas menarik lengan Akbar menuju depan cermin besar yang tadinya ia lihat. Terlihat jelas sekarang bahwa benar Akbar ada di sebelahnya. Namun dalam rupa yang tidak berubah. Tidak semenyeramkan dirinya.

"Kau tetap tampan. Sedangkan aku? Apakah ini balasan karena semua perbuatanku? Tapi, kan, kau juga ikut berperan andil dalam semua ini."

Ajeng cemas. Gelagapan. Bagaimana bisa hanya dirinya yang terlihat seperti ini?

Akbar lalu menepuk sedikit keras pipi kanan Ajeng.

"Sadarlah! Kita masih hidup! Kau tidak mati!"

"Kita sudah mati, Akbar. Kau lihat itu?" Ajeng menunjuk Sarkofagus terbuka yang berjarak dua langkah darinya.

"Dan ini." Lalu menunjuk dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan.

"Juga ruangan gelap ini." Ajeng meraba tangannya ke udara. Lalu kembali menangis.

Akbar kemudian mengguncangkan bahu Ajeng. Menyadarkan gadis itu bahwa apa yang dipikirnya adalah hal yang keliru.

Akbar menatap lamat-lamat Ajeng. Dari atas hingga bawah. Ia lalu terdiam sesaat.

"Ternyata, Hanum benar-benar berbeda."

****


Aku akan menikahinya

Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam kepala Hanum. Malam itu, setelah suaminya mengatakan kalimat yang membuat batinnya rekah tak berdarah, ia lalu keluar begitu saja dari kamar Hanum. Meninggalkan Hanum dalam tangis diamnya.

Hanum duduk lalu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

"Akbar," lirihnya pilu.

Buliran bening itu kembali menetes. Kini berubah seperti aliran sungai kecil di pipinya.

Padahal, baru saja Hanum merasa senang. Baru saja ia merasa puas hati. Baru saja ia merasa sedikit mendapati kemenangannya. Baru saja, Hanum mencoba memperkokoh hatinya untuk tidak kembali menangisi lelaki yang menghujam hatinya tanpa ampun.

Tetapi, yang terjadi justru di luar dugaannya.

Hanum pikir, jika Akbar tau, ia akan marah. Marah besar padanya. Berteriak di depannya lalu mereka akan berdebat. Itu tidak masalah. Hanum tidak takut berdebat dengan seseorang. Apalagi dengan Akbar.

Tapi, Akbar justru datang dan memberinya ciuman perpisahan. Lalu mengabari kabar pernikahannya dengan perempuan lain. Dua hari lagi. Saat dirinya masih sah menjadi istri. Di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang telah menjadi saksi bisu betapa banyak kenangan manis yang tercecap di dalamnya.

Hanum mengusap wajahnya prustasi. Belum pernah ia merasa sehancur ini.

Membayangkan lelaki yang pernah berada dalam satu kursi pelaminan bersamanya dulu, nanti akan duduk di kursi pelaminan bersama perempuan lain, membuat Hanum sesak.

Membayangkan lelaki yang dulunya begitu dekat dengannya kini akan memadu kasih dengan wanita lain, di dalam istananya sendiri, membuat Hanum kecewa. Sedih berkepanjangan.

Tentu. Wanita mana yang rela dimadu? Wanita mana yang rela berbagi cinta dengan perempuan lain? Terlebih di depan matanya sendiri.

Satu hal yang kini Hanum sadari. Ia ... telah jatuh cinta pada Akbar. Jatuh sedalam-dalamnya. Tanpa pernah ia sadari, tanpa diungkap oleh kata-kata, dan tanpa terbaca oleh sesiapa.

Sejak kapan Hanum menaruh hati, ia sendiri juga tidak tahu. Tetapi, perasaan takut kehilangan dan sakit ketika Akbar bersama yang lain, telah menjelaskan semuanya.

Hanum kembali terjebak pada keadaan yang tak ingin ia rasakan. Jatuh cinta.

****

Pusing sama mereka 😴

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang