Chapter 88

312 38 13
                                    

Kami segera memulai perjalanan keesokan harinya. Dengan berjalan kaki dan melewati jalan dengan rumput-rumput lembut dan bunga liar.

Pohon-pohon rindang, cukup membantu dari teriknya sinar matahari ketika siang. Akbar membawa beberapa bungkusan makanan untuk perjalanan ini. Juga beberapa tabung bambu yang berisi air segar.

Jika tidak keliru, perjalanan menuju desa itu memakan waktu seharian karena berjalan kaki. Tetapi tidak masalah. Aku senang-senang saja melakukannya.

Meskipun kembali menelusuri hutan ini kembali mengingatkanku pada malam mengerikan itu, aku selalu berusaha menepisnya jauh-jauh. Menghargai perjuangan Akbar sejauh ini untukku.

Lihatlah dia sekarang, dengan sigap berjaga-jaga di sampingku dari semua kemungkinan yang terjadi. Selalu bertanya apakah aku lelah dan butuh istirahat, juga selalu menawariku minum setiap sepuluh menit sekali.

Tidak pantas rasanya jika terus-terusan tepekur dan meratapi kejadian yang sebenarnya Akbarlah yang lebih terluka.

"Akbar, biarkan aku membawa tabung bambu itu." Aku meminta tabung bambu yang Akbar bawa karena melihatnya kesusahan membawa semua barang.

Sejak awal aku sudah menawarkan diri untuk membawa salah satunya, tapi Akbar keukeuh menolak. Bahkan ketika aku mengambil begitu saja barang yang ia bawa, ia kembali merebutnya. Aku hanya membawa tangan kosong.

"Sudah sembilan belas kali kau mengatakan hal yang serupa, Hanum. Dan jawabanku tetap sama; tidak."

Aku menghela napas. Akbar sama sekali tidak ingin membebani aku dengan hal apapun. Padahal aku yang sekarang merasa menjadi bebannya jika tidak membantu melakukan apa-apa.

"Baiklah. Kalau begitu setidaknya aku yang akan memegang pedang itu dan berjaga-jaga."
Aku kembali memberi usulan.

"Tidak Hanum Sayang!" Akbar melotot padaku.

"Iya-iya baiklah." Aku menyerah membujuknya.

Sejak matahari terbit hingga hampir tergelincir ke ufuk barat, kami belum menemukan tanda-tanda bahwa sudah sampai di permukiman penduduk itu.

Sesekali aku melempar lelucon agar Akbar tertawa. Membantu meringankan sedikit beban dan sedihnya. Tidak akan kubiarkan sunyi kembali memutar kesedihan itu lebih jelas.

"Akbar, jika kulihat-lihat perutmu itu sudah mulai kotak-kotak lagi, ya." Aku melirik ke arah perutnya.

Akbar membusungkan dada. "Tentu saja. Aku kan sixpack."

"Laki-laki gagah perkasa yang juga sangat seksi."

Aku hampir tersedak mendengar jawaban Akbar barusan. Dalam keadaan seperti ini ia bisa melawak dengan begitu baik.

"Sejak kapan kau rajin berolahraga lagi?"

"Sejak kau mengatai perutku seperti bakso beranak." Akbar pura-pura membuang muka.
Aku tertawa melihatnya.

"Oh jadi sejak waktu itu kau kembali rajin berolahraga."

"Tentu saja."

"Padahal yang gendut itu kau, Hanum. Tapi mengataiku aku pula. Huh!"

Aku berhenti berjalan dan gantian memelototi Akbar. Enak saja mengataiku gendut!

"Coba kau ulangi, Akbar!"

Akbar langsung mengusap punggungku sambil tersenyum senyum.

"Tidak kok, Sayang. Hanum tidak gendut, tapi hanya gemas."

"Oh bukan. Hanum terlihat seksi. Aku jadi tambah cinta." Akbar meralat kalimatnya.

Aku berdeham dan melanjutkan langkah.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang