Chapter 60

435 41 0
                                    

Setelah semuanya aku ketahui dengan tuntas, sekarang tiba saat yang sudah aku nanti-nantikan. Menghukum Akbar!

Jika kalian di posisiku, apakah kalian akan memaafkan Akbar begitu saja? Atau memberinya hukuman?

Kira-kira, hukuman apa yang pantas Akbar terima untuk kesalahannya kali ini?

Aku sudah menyiapkan beberapa hukuman untuknya. Entah ia akan suka atau tidak, aku tidak peduli. Eh, siapa juga yang suka untuk dihukum?

"Kau lama sekali!"

Akbar baru datang setelah setengah jam ketika aku meminta bertemu di taman belakang istana. Ia datang dengan dua orang pengawal di samping kanan dan kirinya.

"Maaf, Sayang. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan."

"Jadi kau lebih memprioritaskan pekerjaan dari pada aku?"

"Bukan istriku. Bukan begitu maksudnya."

Akbar lalu cepat-cepat memelukku, takut-takut aku marah dan tidak memaafkannya. Haha. Suami takut istri! Aku sangat menikmati reaksi Akbar yang seperti ini.

"Jangan marah, Sayang. Maafkan aku."

Akbar memeluk semakin erat hingga tak membiarkan aku beranjak walau sejenak.

"Aku memanggilmu kemari untuk membacakan hukumanmu." Perlahan aku melepaskan pelukan Akbar lalu memilih duduk di kursi panjang di bawah pohon yang rindang.

Beberapa orang pelayan lalu datang dan mengantarkan camilan.

Akbar ikut duduk di sebelahku. Tak berhenti menatapku. Aku sampai risih ditatapi seperti itu terus.

"Berhentilah menatapku atau aku akan menambah daftar hukumanmu!"

"Jangan, Sayang! Jangan!"

Aku berusaha untuk tidak tertawa melihat Akbar yang langsung gelagapan takut.

Tenang, Hanum. Ayo tunjukkan sisi singamu agar Akbar semakin takut dan tidak berani kembali berulah!

"Ini beberapa deret hukuman yang harus kau jalani."

Aku memberikan selembar kertas kepada Akbar. Lalu sebuah pena.

"Kau harus tanda tangan di situ."

Akbar melirikku sejenak sebelum membaca selembar kertas yang aku berikan.

Hukuman untuk Akbar Muhammad Kahfi atas kesalahan yang telah sengaja membuat drama konyol dan membohongi Hanum Wijaya Setyaningrum.

1. Akbar harus menanam seribu benih mawar merah di lahan yang telah disediakan. Waktu yang diberikan hanya satu hari satu malam. Tanpa dibantu oleh siapapun. Jika dalam satu hari satu malam Akbar tidak berhasil menyelesaikan hukumannya, maka jumlah bibit mawar yang harus ditanam dilipat gandakan. Tidak ada negosiasi di sini!

2. Setiap pagi selama satu Minggu Akbar harus membuatkan sarapan untuk seluruh penghuni istana. Tidak terkecuali!

3. Setiap siang selama satu Minggu, Akbar harus mencuci semua piring kotor dan peralatan makan yang ada di istana pria maupun istana wanita.

4. Setiap sore selama satu Minggu Akbar harus membersihkan kandang kuda dan memandikan kuda-kuda tersebut.

5. Setiap malam selama satu Minggu, Akbar tidak boleh tidur bersama Hanum di dalam kamar. Akbar tidur di luar kamar!

6. Setelah delapan hari penuh Akbar menjalani hukuman, ia harus menulis di atas tiga ribu lembar kertas hitam dengan tinta emas di atasnya. Yang harus ditulis adalah 'Aku, Akbar Muhammad Kahfi tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama ataupun membuat istriku Hanum Wijaya Setyaningrum terluka.' Lalu menempelkan kertas tersebut di setiap sisi istana agar bisa dibaca semua orang.

"Sudah?" Aku meletakkan semangkuk kripik kentang lalu menatapnya dengan senyum jenaka.

Dapat kulihat jelas bahwa Akbar terlihat keberatan dengan hukuman yang telah aku berikan.

"Hukuman yang pertama, kau harus menanam bibit mawar merah selama sehari semalam."

"Kau terinspirasi dari kisah Roro Jonggrang, Sayang?"

Aku tertawa. "Sedikit."

"Bersyukurlah aku tidak memintamu membuat seribu candi yang sama dalam waktu satu malam. Atau mungkin meminta menanam benih mawar itu hanya dalam satu malam. Aku memberimu waktu sehari semalam. Artinya dua puluh empat jam. Dan aku ingin ketika dua puluh empat jam itu sudah terlewati, ada seribu pot mawar merah yang sudah siap ditanam," jelasku panjang lebar. Sedikit kasihan sebenarnya, tapi ya bagaimana. Akbar sendiri yang membuatku terpaksa melakukan ini.

"Baiklah. Baik. Aku sama sekali tidak keberatan untuk menanam dua ribu mawar sekalipun, atau setiap hari selama seminggu menggantikan tugas para pelayan di istana. Dan juga menulis ribuan lembar permintaan maaf untukmu. Tapi, aku sangat keberatan dengan hukuman nomor lima. Kenapa kau juga membuatku harus jauh darimu, Hanum? Tidak bisakah setelah seharian lelah kau memberiku kesempatan untuk berteduh di dalam dekapanmu saat malam? Kau benar-benar menghukumku, Hanum."

"Iya. Itu hukuman yang paling pantas sebenarnya. Kau harus tau rasanya beberapa waktu lalu saat aku sendirian di kamar lalu gelisah, tidak nyenyak tidur, mimpi buruk, kepikiran tentang dirimu dan Ajeng. Benar-benar malam yang melelahkan!"

Akbar menghela napas. Ia lalu mendekat dan tanpa aba-aba memelukku dengan begitu erat. Ia mencium keningku lama.

"Maaf, Sayang. Maafkan aku."

"Aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Maafkan aku, Hanum."

Sejujurnya aku sangat senang dengan pelukan ini. Aku merindukannya. Teramat sangat rindu hingga rasanya aku tak ingin jauh dari Akbar walau sedetik. Tapi aku harus memberi Akbar hukuman ini agar ia jera dan tak lagi melakukan itu. Apa yang ia lakukan kemarin tidak baik. Dan aku tak ingin menjadi kebiasaan buruknya.

Aku tak membalas pelukannya, meskipun hatiku sangat ingin berada di dalam dekapannya lebih lama.

"Besok. Hukumanmu dimulai besok."

Akbar tak menjawab, hanya bergumam dan kembali mencium keningku lama.

"Baiklah. Tapi sebelum selama seminggu penuh aku tak bisa tidur bersamamu. Izinkan sekarang aku puas memelukmu, Hanum. Sekali ini saja. Kumohon." Akbar berkata dengan suara serak dan dengan sungguh-sungguh. Astaga, kenapa aku jadi ikut berkaca-kaca.

"Kau berlebihan, Akbar! Aku tak memberimu hukuman mati atau harus meninggalkan istana ini selamanya. Tapi sikapmu seolah-olah akan melakukan hukuman itu."

"Jauh darimu walau sehari sama saja dengan hukuman itu."

"Kita masih di istana yang sama."

"Tapi jika malam, kita tidak tidur di ranjang yang sama!"

"Nyatanya kemarin saat kau mengerjai aku, kau bisa tidak tidur denganku selama berminggu-minggu!"

Akbar melepas pelukannya lalu menangkup kedua wajahku. Tatapannya dalam. Aku bisa melihat ketulusan di dalamnya. Tuhan, kenapa aku semakin mencintai pria ini!

"Asal kau tahu, bahwa aku juga tersiksa dengan itu semua. Aku cemas memikirkan keadaanmu."

"Kau yang ingin semua ini terjadi, Akbar."

"Kau yang memaksaku melakukan semua ini, Hanum."

"Ah sudahlah."

"Kemarilah." Lalu Akbar kembali memelukku. Menyusupkan kepalanya di perpotongan leherku. Kali ini aku tidak menolaknya. Aku membalas dekapan Akbar dengan sama eratnya.

Aku rindu harum tubuhnya yang selalu membuatku candu. Aku rindu kehangatan ini. Aku rindu semuanya.

Mungkin memang benar, apa yang terjadi kemarin sebagian adalah kesalahanku yang selalu meragukannya, yang tak pernah mengerti sikap sebenarnya dari seorang Akbar. Tapi, 'kan, masih banyak cara lain dari pada melakukan hal semacam kemarin.

"Kau milikku, Akbar. Hanya milikku." Aku memejamkan mata, menikmati kenyamanan yang ia berikan. Hingga tanpa sadar mengutarakan apa yang hatiku katakan.

"Tentu, Sayang. Tentu. Dan kau juga hanya milikku."

"Aku mencintaimu."

"Aku lebih mencintaimu. Selalu."

****

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang