Usai hari ketujuh setelah kepergian mereka.
"Maaf, Pangeran. Apakah barang-barang Raja dan Ratu akan disembunyikan?" Seorang pengawal pribadi Akbar bertanya sendu. Biasanya sepagi ini istana ramai oleh celoteh Akbar dan Ajeng, atau potret bahagia Helena dan Kahfi.
Istana itu selalu tersiram kebahagiaan. Semuanya adalah keluarga. Tidak ada yang menjadikan pelayan dan karyawan lain seperti babu rendahan. Rasa manusiawi yang tinggi selalu dijunjung dengan baik dalam keluarga itu.
Akbar menghela napas berat. Pagi itu ia memutuskan untuk menyembunyikan semua barang ayah dan ibunya di tempat yang tidak diketahui semua orang. Bukan karna Akbar tidak bisa berdamai dengan hal menyakitkan itu, tapi ia hanya tidak ingin keluarganya yang masih tersisa, -Ajeng dan orang tua Gio- terlihat sedih dengan kepingan kenangan yang tertinggal. Akbar tahu pasti, kesedihan itu belum luntur sama sekali.
"Aku ingin istana ini tidak lagi bermuram durja." Akbar mengambil perintah. Tiga detik kemudian semua terlaksana seperti apa yang ia mau.
Pekerja hilir mudik memindahkan semua barang yang berkaitan dengan Helena dan Kahfi. Semua buku, lukisan, benda-benda penuh kenangan yang ada disembunyikan.
Lelaki yang terbilang masih remaja itu melangkah dengan berat ke ruang kerja ayahnya. Kedua matanya mengitari seluruh ruangan itu. Dulu mereka sering membincangkan banyak hal di sini. Akbar paling senang mendengar cerita Kahfi tentang laut dan kapal, juga emas dan mutiara yang ayahnya dapat dari banyaknya perjalanan.
Sekarang ruangan itu terlihat sepi dan suram. Padahal beberapa waktu lalu Akbar masih mendengar tawa ayahnya di sini. Ia masih melihat bagaimana piawainya ayahnya itu mengerjakan sketsa rumit yang Akbar sendiri tidak mengerti. Atau, bagaimana seorang Kahfi membuat cincin permata dari batu sapphire untuk kekasih hatinya.
Akbar ... rindu ayahnya.
Akbar lalu melangkah ke kursi yang biasa diduduki Kahfi. Ia seakan bisa merasakan kehadiran ayahnya dulu di sana. Sekali lagi Akbar menghela napas. Kali ini lebih panjang dan berat. Beban itu bersarang penuh di dadanya.
Tangan Akbar mengemasi satu persatu buku, map, dan kotak yang ada di atas meja. Ia merapikan semuanya satu persatu. Gulungan peta, tinta hitam, dan semua alat kerja yang terlihat, Akbar bersihkan. Anak sulung mendiang Kahfi itu kemudian menarik laci di bawah meja kerja itu. Beberapa jilid buku usang dan catatan kecil tercecer di sana.
Akbar mengemasinya. Baru separuh barang yang ia kemasi, jemari Akbar terhenti karna beberapa gulungan kertas dari lembaran papyrus terlihat mencolok di sana.
Kahfi memang banyak mengoleksi barang lama nan antik. Termasuk lembaran papyrus itu. Tapi yang menjadi daya tarik Akbar adalah, gulungan papyrus itu masih baru. Pada zaman itu siapa yang masih suka menggunakan lembaran papyrus untuk media tulis?
Akbar penasaran, ia membuka gulungan pertama.
Anak lelaki itu terhenyak ketika mendapati bercak darah di dalamnya. Tidak ada tulisan apapun di sana. Hanya sebuah lukisan hitam putih yang ditutup bercak darah.
Lukisan ayah dan ibunya.
Akbar segera membuka gulungan berikutnya. Seperti lembar sebelumnya, banyak noda dan bercak darah di dalamnya. Kali ini lukisan hitam putih dirinya dan Ajeng.
Siapa yang mengirim surat berdarah ini? Akbar berpikir dalam. Setahunya, selama ini ayah dan ibunya memiliki banyak kolega yang baik. Mereka berbisnis legal dan selalu berusaha menghindari konflik dengan siapapun. Jadi, siapa yang menaruh dendam seperti ini pada keluarganya?
Akbar cepat-cepat membuka gulungan papyrus terakhir. Kali ini tidak ada noda darah di dalamnya. Hanya ada beberapa kalimat yang tergores.
Raja hari akan tenggelam. Kegelapan pastilah datang. Masa lalu adalah bagian dari kisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantastikCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...