Chapter 2

2.3K 230 2
                                    


Aku mematung hebat saat Bunda mengatakan akan segera menikahkan aku dengan anak teman baik Ayah. Bukan aku ingin menjadi anak yang pembangkang dan kurang ajar, tapi bukannya pernikahan itu nantinya aku yang menjalani?

Jelas aku menolak tegas perjodohan itu dengan dalih ingin melanjutkan studi S3 di Inggris. Namun, Bunda kali ini tak mau mengalah seperti sebelum-sebelumnya.

"Umur kamu sudah dekat tiga puluh tahun, Hanum. Keempat adikmu semuanya sudah menikah dan memiliki keturunan. Mau sampai kapan kamu melajang?"

Aku hanya berdecak mendengar Bunda terus mengulangi kalimat itu berkali kali. Bukannya tak memiliki ketertarikan untuk menikah, hanya saja aku belum menemukan laki-laki yang pas. Juga belum siap menjadi istri sebenarnya.

Keempat adikku semuanya perempuan, dan semuanya pula sudah mendahului aku dalam hal pernikahan. Tentu aku tidak mempermasalahkan itu, justru aku senang. Dengan mereka menikah dan mempunyai anak, Bunda tak lagi menyinggung soal cucu padaku.

Setiap tahun aku selalu dipojokkan untuk segera menikah, tapi aku katakan sedang menyelesaikan pendidikan kuliahku dulu. Ayah dan Bunda mengiyakan saja penolakanku. Toh, orang tua mana yang tak senang bila melihat anaknya sukses menempuh pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.

Usai wisuda S2 dua bulan lalu, Bunda kembali aktif memojokkan aku kembali, bahkan sering langsung menyuruh laki-laki dari anak temannya untuk datang ke rumah dan bertemu denganku. Tentu saja aku menolak.

"Sebentar aja, Bunda. Hanum mau ambil S3 di Inggris dulu, nanti pulang Hanum janji bakalan nikah," pujukku, tapi Bunda sepertinya kali ini pura-pura tak mendengar permintaanku.

"Tidak ada lagi penolakan, Hanum! Mau tidak mau kamu harus menikah Minggu ini," tegas Bunda.

"Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Bunda ...." Aku merengek, tak peduli jika usiaku tak lagi muda untuk bertingkah seperti anak kecil, tapi aku sungguh tak ingin menikah karena perjodohan.

Dan, kali ini aku kalah. Kedua orang tuaku keukeuh menikahkanku.

Kemarin malam keluarga dari pihak pria datang mengajukan lamaran. Aku hanya duduk sembari menunduk lesu, sama sekali tidak antusias mengenai pernikahan ini.

Keempat adikku justru yang paling semangat dan bahagia. Mereka bahkan sudah memesankan tiket honeymoon ke Dubai setelah aku menikah. Benar-benar menyebalkan!

****

Aku melirik sekilas laki-laki yang nantinya akan menikahiku. Lumayan tampan. Ya ... aku akui itu, khas CEO muda yang sedang naik daun. Sebelas dua belas dengan model papan atas.

Tampan, matang secara finansial, dari keluarga terpandang, anak teman baik Ayah. Apalagi yang kurang? Sudah paket komplit untuk dijadikan suami. Namun, aku sama sekali tidak tertarik dengan itu.

Karena aku tau, model pria sepertinya ini jarang sekali yang setia. Aku yakin, dia adalah salah satu buaya cap kadal yang lepas dari kandang.

****

Bunga berwarna biru itu melingkari setiap pegangan tangga yang akan menuju pelaminan utama. Lampu dengan warna putih menerangi setiap sudut dari gedung yang telah disewa khusus untuk akad sekaligus resepsi pernikahan.

Kursi besar bermatakan berlian berwarna biru pekat ditempatkan di antara kedua kursi ukuran single. Di belakang itu, sudah dirias puluhan warna bunga yang disematkan pada dinding-dinding dan atap bagian pelaminan. Beberapa bunga yang diletakkan di dalam pot hias juga terlihat rapi dan anggun.

Latar dari pelaminan itu berbentuk seperti istana megah yang masing-masing jendela diberi penerang dan telah dirias dengan karangan bunga pula. Karpet merah di gelar pada tangga menuju pelaminan.

Makanan telah ditata pada meja prasmanan, ada lebih dari dua puluh menu yang disediakan. Meja dan kursi para tamu telah dirias dengan kain berwarna biru muda dan masing-masing meja telah diberi lilin hias untuk mempercantik.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, mengenakan gaun putih dengan berlian berwarna putih terang yang menempel pada payet-payet gaun. Gaun dengan bagian bawah sepanjang tiga meter ini membuatku sedikit sulit berjalan.

Hijab warna putih berpayet menempel sempurna, membalut rambut hitam pekatku.

Mahkota dengan bentuk menyerupai es yang diruncingkan itu terasa sedikit berat di kepalaku. Setiap bagian sisi sudut atasnya terdapat permata besar berwarna biru. Bagian tubuh mahkota ini sendiri penuh dengan berlian putih.

Aku menarik napas dalam-dalam. MUA sudah selesai merias wajahku. Hanya dengan make-up tipis, tapi tetap terlihat elegant. Aku sendiri yang memintanya, karena aku tidak suka bila memakai make-up bold meskipun posisiku sekarang adalah pengantin.

Bunda masuk, lalu tersenyum melihatku yang sudah selesai dirias.

"Cantiknya putri Bunda," puji Bunda, aku hanya tersenyum tipis menanggapi itu.

Bunda menuntunku menuju meja akad yang telah disiapkan. Melewati anak tangga, aku berdebar, meskipun pernikahan ini tidak aku inginkan, tapi tetap saja ini menjadi momen sekali dalam seumur hidup.

****

Aku menghela napas berkali kali saat saksi mengatakan kata 'SAH'.
Baru kemarin malam lamaran dan paginya langsung akad. Sebenarnya kedua keluarga ini sedang dikejar deadline atau bagaimana?

Akbar Muhammad Kahfi. Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu kini sedang tersenyum ke arahku, khas senyum para kadal yang memikat mangsanya.

Aku tak membalas senyumnya, bahkan melihatnya merangkul pinggangku seperti ini saja aku merasa sangat geli, ingin sekali kutendang pria di sampingku ini jika tak ingat tamu undangan sedang sangat ramai.

"Don't touch me!" bisikku tegas sembari melepaskan tangannya dari pinggangku.  Akbar hanya menyunggikan senyum yang membuatku semakin kesal.

Selesai khutbah pernikahan, membubuhkan tanda tangan pada buku nikah dan memasang cincin pernikahan, Akbar mengulurkan tangannya untuk kuraih. Sekali lagi, jika bukan karena Ayah dan Bunda, aku tak ingin meraih tangan lelaki bermata coklat tua itu.

Akbar berjalan beriringan denganku, perlahan membawaku menaiki tangga menuju pelaminan. Sikapnya ini seakan ingin menunjukkan kepada ribuan tamu undangan bahwa kami sama-sama saling mencintai. Padahal tidak sama sekali.

Mengenakan jas berwarna senada dengan gaun yang aku kenakan, membuat wibawanya naik beberapa tingkat. Hampir setiap tamu yang selesai menyalami kami mengajak foto bersama.

"She is very beautiful. The perfect partner for you!" ucap salah satu gadis yang menyalami kami. Aku tersenyum membalas pujiannya.

"Hei istriku!" bisik Akbar saat selesai menyalami tamu undangan.

"Kau telah resmi menjadi istri dari seorang Akbar Muhammad Kahfi. Jadi, aku akan meminta hakku nanti malam."

Setelah mengatakan itu, Akbar menyeringai. Puas melihatku yang mematung seketika.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang