Aku menyisir rambut panjangku yang basah, dengan sesekali melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Hari ini Akbar berjanji akan mengajakku ke air terjun yang terletak di perbatasan desa ini. Letaknya cukup jauh, mungkin perjalanan hampir dua jam jika berjalan kaki. Tapi tidak masalah, aku antusias untuk ikut karena penasaran akan seperti apa penampakan air terjun yang katanya sangat indah itu.
Lelaki yang sedari kutunggu nyatanya masih pergi memancing di danau bersama Paman Tam. Hobi barunya semenjak pindah kemari.
Sudah hampir satu bulan kami di sini. Rumah yang Akbar bangun sebenarnya sudah jadi empat hari yang lalu, tapi Bibi Leya menahanku agar lebih lama di sini beberapa hari lagi. Aku tau dia merindukan anak-anaknya, dan dia sudah menganggapku seperti putri kandungnya sendiri.
Sejak seminggu yang lalu, Akbar melarangku untuk melihat rumah yang ia bangun, katanya tunggu hingga selesai sampai nanti dia sendiri yang akan membawaku ke sana.
"Hanum sayang, suamimu sudah pulang!"
Suara itu menghentikan aktifitasku sejenak.Pintu kamar dibuka, menampilkan wajah seorang pria dewasa yang tengah tersenyum sumringah dan memamerkan ikan besar hasil pancingannya.
"Lihat apa yang aku bawa!"
"Waah itu pasti akan sangat enak jika dibakar!"
"Tentu saja! Aku akan meminta Bibi Leya memasaknya."
Aku cemberut. "Kenapa bukan aku saja? Kau meragukan masakanku?"
"Oh tidak begitu, Sayang. Bukankah kita mau berjalan-jalan? Ayo pergi dari sekarang atau kita akan sampai ketika matahari tenggelam."
Ah iya benar juga.
"Baiklah. Sekarang cepatlah mandi karena kau sudah bau ikan."
"Oo bau ikan, ya?" Akbar menyeringai lalu berjalan mendekat dengan tangan masih menenteng ikan segar.
Aku segera menjauh. "JANGAN MACAM-MACAM AKBAR! AKU SUDAH MANDI!"
Akbar tertawa lepas kemudian menjauh dan keluar dari kamar. Sebelum menutup pintu ia menoleh padaku, "Jangan lupa membawa baju ganti."
****
"Apakah warga desa yang memberitahumu bahwa ada air terjun di perbatasan desa?" Aku berjongkok lalu mencabut setangkai bunga liar berwarna violet.
Kami meneruskan berjalan kaki, untung saja pepohonan di sini besar-besar, jadi meski terik sekalipun akan tetap terasa teduh.
"Iya, kata mereka airnya sangat jernih dan segar. Sayang sekali letaknya jauh, jadi tidak bisa sering dikunjungi."
Kami berjalan kaki dengan sesekali berbincang hangat. Jangan lupakan kebiasaan Akbar yang suka menjahiliku itu, tidak pernah berubah.
Entah bagaimana ceritanya dia bahkan berhasil menarik sebelah sandalku lalu dibawanya lari begitu saja. Benar-benar menyebalkan!
Sudah lebih dari satu jam kami berjalan kaki, Akbar bilang mungkin letak air terjun itu tidak jauh lagi.
Dan ... benar saja! Lihatlah air yang jatuh dari tebing itu.
Aku segera antusias berlari untuk melihat secara dekat. Suara debur air yang mengenai bebatuan menjadi irama alam tersendiri. Air di bawahnya sangat jernih, berwarna hijau kebiruan. Ikan-ikan kecil tampak berenang di sana. Beberapa batu-batu dan rumput berwarna juga terlihat indah seperti di balik cermin kaca.
Sekitar air terjun itu ditumbuhi bunga liar berwarna-warni. Matahari yang terik tertutup rimbunnya pepohonan.
Aku menyentuh permukaan air. Terasa sejuk dan segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...