Chapter 81

520 35 10
                                    

"Kalian mau pergi ke mana?" Suara dingin itu menghentikan semuanya.

Aku menoleh ke sumber suara. Seorang pria berjubah hitam dengan kuda putih itu tampak menyeringai melihat kami yang sesaat kaget melihatnya.

Angin kencang membuat tudung di kepalanya terlepas. Kini aku dapat melihat jelas wajah orang yang disebut keluarga lama itu.

Rambutnya pirang, dengan kornea mata biru kehijauan. Rahangnya tegas, dengan kulit putih sedikit pucat.

Wajah ini ... mirip sekali dengan lukisan ibu kandung Akbar. Mereka jelas saudara sedarah.

Akbar mengepalkan kedua tangan melihat siapa yang berdiri tujuh meter darinya. Antara amarah, kecewa, benci dan berbagai perasaan yang sulit dijelaskan lainnya bercampur dalam dirinya sekarang. Aku bisa mengerti dari tatapan tajam milik Akbar saat ini. Andai saja keluarga lama itu tidak melakukan hal sejauh ini, pertemuan mereka kini mungkin akan lebih harmonis, dengan peluk hangat pertemuan, bukan haus akan nyawa kebencian.

"Ternyata ini rupa pengecut itu." Akbar berkata dingin dan menusuk. Tatapannya tak beralih dari pria berjubah hitam itu.

Pria berjubah hitam itu kemudian turun dari kudanya dan meninggalkan anak panahnya di sana. Ia mengambil sebilah pedang yang sudah berlumuran darah dan melangkah mendekat ke arah kami.

Entah tubuh siapa yang sudah menjadi santapan pedangnya itu.

"Senang bertemu denganmu."

"Keponakanku." Pria itu menyeringai. Suara dan tatapannya masih sedingin tadi.

Akbar berdecih mendengar kata terakhir yang terlontar dari bibirnya.

"Keponakan? Kau bahkan tidak layak disebut sebagai paman. Sampah pun masih ada harganya dari pada dirimu." Akbar menatap pria itu semakin tajam. Menusuk.

Orang yang ditatap hanya tersenyum miring menanggapi. Ia memainkan pedang di tangannya.

"Justin."

"Namaku Justin."

"Aku tidak butuh perkenalanmu!"

"Mungkin ini akan jadi pertemuan pertama dan terakhir kita wahai putra Kahfi."

Aku menggenggam jemari Akbar, berusaha memberikan sedikit ketenangan padanya. Semuanya hal yang dilakukan dengan gegabah dan amarah hasilnya tidak akan baik.

"Keempat orang itu keluargamu? Ah ternyata Kahfi masih memiliki banyak keluarga." Justin diam sejenak, mengamati kami satu persatu.

"Tapi sayang sekali. Mereka semua akan menyusul si pecundang itu sebentar lagi."

Akbar menoleh ke arahku dan ibu lalu memberi kode untuk melarikan diri.

Aku menggeleng tegas.

"Mengertilah, Hanum!"

Akbar kembali menatap Justin dengan buas. "Kau penggal dulu kepalaku, baru dekati mereka. Selain itu, sehelai rambut mereka pun tidak akan kubiarkan tercabut oleh tanganmu yang menjijikkan itu!"

Justin tertawa. Meremehkan.

"Kau sama beraninya dengan ayahmu dulu."

"Tapi tetap saja. Kalian sama-sama pecundang rendahan!"

Akbar menoleh dan menatap ibu. Ibu lalu mengangguk dengan segera.

Ia menarik lenganku untuk menjauh. Aku mencoba memberontak, tidak mau meninggalkan Akbar dan Ayah di sini, bersama pria bernama Justin itu.

"Aku akan ikut melawannya, Ibu. Ibu tau, 'kan aku bisa ilmu bela diri. Aku juga bisa memainkan senjata." Aku mencoba meyakinkan ibu agar tetap membiarkanku di sini.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang