Chapter 69

335 35 0
                                    

Pada malam itu Hanum tidak lagi melanjutkan pembicaraannya dengan Akbar. Ia merasa iba melihat gurat kesedihan yang hadir di wajah suaminya ketika usai menceritakan itu semua.

Perempuan beranak satu itu harus menahan rasa keingintahuannya yang kini semakin meletup-letup. Baru separuh teka-teki yang akhirnya terjawab.

Hanum menghela napas. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan untuk melihat suaminya yang kini tengah terpejam.

Diamati wajah itu lamat-lamat. Sepersekian detik, Hanum tersenyum tipis.

Jemari lentik Hanum menyusuri wajah teduh Akbar. Mata indah yang selalu memandang Hanum penuh cinta, hidung mancungnya, alis tebal dan menukik miliknya, bibir yang menjadi saksi bisu peraduan cinta mereka. Ah, jika saja saat ini situasi sedang baik-baik saja, mungkin keduanya sepagi ini masih saling memberi kenikmatan.

Namun keadaan amat berbeda saat ini.

Hanum tidak tahu apakah Akbar ingin melanjutkan kisahnya yang tertunda, atau  mencukupinya saja waktu itu. Kali ini Hanum tidak lagi ingin memaksa.

Akbar menggeliat. Beberapa saat kemudian matanya sayup-sayup terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah ayu istrinya.

"Good Morning, Honey!" Hanum menyapa, tersenyum lembut kepada suaminya yang dibalas senyum serupa.

"Morning too, Sweety!" balas Akbar dengan suara serak khas bangun tidurnya.

Hanum mendekatkan bibirnya ke bibir Akbar, lalu mengecupnya singkat seperti biasanya.

"Kau tidur pulas sekali." Hanum kembali tersenyum. Jemarinya kini bermain di sela surai hitam suaminya.

"Hujan dan Hanum. Perpaduan yang komplit untuk tidur pulas." Akbar tertawa kecil setelahnya. Tawa itu menular pula kepada Hanum.

Akbar lalu menahan tangan Hanum yang masih bermain di rambutnya. Ia memindahkan tangan itu ke samping kirinya.

Hanum menautkan alis. Biasanya Akbar tidak pernah menolak perlakuan apapun dari Hanum.

Baru saja Hanum ingin bersuara, Akbar sudah menjawab pertanyaannya.

"Kemarilah!" Akbar merentangkan tangannya, memberi kode agar Hanum berdekapan hangat dengannya.

Hanum tertawa dan menuruti permintaan suaminya.

Beberapa menit berlalu, keduanya saling diam. Sedekat ini, Hanum dapat mendengar jelas detak jantung Akbar.

Berdetak normal. Seirama dengan degup jantungnya.

Hanum menyukai irama degup ini. Pengiring tidur terbaiknya.

Terbuai oleh rasa nyaman, Hanum disadarkan oleh sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Maafkan aku, Akbar." Hanum memecah hening.

"Maaf?" Akbar mengerutkan keningnya bingung.

"Maaf sedari dulu sudah memaksamu bercerita. Aku tidak tahu jika kisahnya sedemikian." Hanum berkata pelan, merasa bersalah dengan Akbar.

Siapa yang tahu kalau ceritanya justru demikian? Tidak pernah terpikir sama sekali oleh Hanum, bahwa Akbar yang sebenarnya memiliki kisah kelam di sebalik itu.

Akbar semakin mengeratkan pelukannya. "Kau sama sekali tidak bersalah, Sweety."

Baik, mulai saat ini Akbar telah menyematkan panggilan baru untuk kesayangannya.

"Aku tidak akan memintamu untuk meneruskan ceritanya."

Akbar melonggarkan pelukannya sejenak dan menatap istrinya. "Why?"

"Tidak ingin kau membuka luka lama itu lagi."

Akbar tertawa kecil, ia kembali memeluk erat istrinya. Kini diselingi dengan kecupan hangat di kening.

"Aku akan tetap meneruskan ceritanya. Aku baik-baik saja, Sayang. Tadi malam hanya sedikit terbawa suasana."

"Hmm."

"Lagi pula, semua orang sudah menunggu bagian ini sejak lama. Kita bisa dapat umpatan mereka jika berhenti di tengah jalan."

Hanum diam sejenak, mencerna baik-baik ucapan Akbar barusan.

Seperkian detik, ia lalu mengangguk membenarkan.

"Kau benar sekali, Akbar. Dan iya, aku cukup kasian padamu yang sudah sering kali terkena umpatan mereka." Hanum lalu tertawa.

Akbar ikut tertawa dan mencubit dengan gemas pipi istrinya.

"Nanti sore setelah memastikan Musthafa tidur dengan baik, kita ke ruang rahasia itu. Aku akan menyelesaikan semua bagian sekaligus berdiskusi denganmu, akan kita gunakan untuk apa harta karun yang tertimbun itu."

"Kau yakin akan kembali menceritakan bagian itu?" Hanum mendongak dan menatap suaminya. Meminta kepastian sekali lagi. Takut-takut Akbar justru terluka dengan keputusannya.

Akbar mengangguk mantap.

"Tentu saja, Sweety."

"It's okkay. Thank you, Honey."

Lalu keduanya sibuk bercakap-cakap ringan. Sesekali tertawa dan saling menjawil pipi dan mencubit hidung dengan gemas. Sejenak melupakan perasaan sedih yang beberapa saat lalu mengungkung mereka berdua.

"Dasar jelek!" ejek Akbar tiba-tiba.

"Gadis secantik ini kau katai jelek?" Hanum mendelik tidak terima.

"Apa? Coba ulangi?" Akbar pura-pura tidak dengar.

"Gadis se—,"

"Jika kau lupa, kau sudah tidak gadis. Sudah tidak perawan pula."

Hanum menatap galak. Refleks menyentil bibir Akbar dengan jemarinya.

Akbar mengaduh, namun tertawa setelahnya. Puas melihat wajah kesal Hanum yang justru terlihat menggemaskan.

"Dan jika kau lupa, kau yang sudah merenggut kegadisanku!" Hanum memprotes.

"Kata 'merenggut' sepertinya kurang cocok. Itu memberi kesan seperti aku mengambil paksa. Padahal kau juga sama-sama menikmatinya." Dengan santainya Akbar berkata. Membuat Hanum ingin sekali melempari wajah suaminya ini dengan kotoran kuda.

"Diam atau—,"

"Apa? Mau apa?"

Baru saja Hanum ingin kembali menyentil bibir Akbar yang suka sekali menyela ucapannya, Akbar sudah menggelitiki perut Hanum hingga membuat si empu berteriak dan tertawa bersamaan.

"Astaga, lepaskan, Akbar!" Hanum mencoba mengelak, tapi jemari-jemari Akbar lihai di tempatnya. Menggelitik Hanum terus menerus.

"Huu tidak mau. Rasakan ini!" Akbar semakin menjadi.

"Hahaha!"

"Bagaimana dengan ini?" Tangan Akbar lalu menyusup ke area terlarang.

"HEI HENTIKAN! DASAR BUAYA MESUM!"

Buaya cap kadal yang bertransformasi menjadi buaya mesum!

****

Santai dulu, biar nggak tegang kayak kemarin 🌝

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang