Chapter 9

1.2K 151 2
                                    

Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah, gorden jendela kamarku yang berwarna biru muda. Kemudian seorang wanita dengan jas putih sedang berdiri memeriksa infus.

"Bayiku? Bagaimana dengan bayiku?" tanyaku lemah.

"Ratu sudah sadar?"

Iyalah sudah sadar, jika belum bagaimana aku bisa berkata. Sungguh pertanyaan retorik!

"Bayiku?" ulangku.

"Baik-baik saja Ratu. Tapi saya tetap memberikan obat penguat kandungan, karna mengingat usia kandungan Ratu yang masih muda, ditambah lagi efek kaget yang membuat perut berkontraksi bisa saja berpengaruh pada janin," jelas Ara, bidan yang bertugas menjagaku.

Aku menghela napas panjang, kemudian meraba perutku dengan perasaan bersalah. Harusnya aku tidak ceroboh, harusnya aku lebih berhati-hati, harusnya aku tak membuat calon bayiku hampir terluka.

Perban di kepalaku dibalut dengan rapi. Aku baru ingat kalau pelipisku tadi berdarah. Pantas saja ketika pertama membuka mata tadi, aku merasakan kepalaku masih berdenyut-denyut.

"Hanum!" panggil pria yang berdiri di depan pintu kamar.

Ara membungkuk sebentar lalu bergegas meninggalkan kamar saat Akbar datang.

"Apa pelayan di istana ini kurang banyak untuk membantumu melakukan sesuatu? Apa chef dan para koki kurang handal hanya sekadar membuatkan brownies coklat? Apa semua fasilitas di sini masih belum memadai sehingga kau harus turun tangan ke dapur? Hah? Kau hampir saja mencelakai bayi kita Hanum! Aku tau kau tidak mencintaiku, tapi setidaknya pikirkan bayi itu," terang Akbar panjang lebar menceramahiku. Ia masuk dan langsung berdiri di depanku seperti seseorang yang memarahi karyawannya karna melakukan kesalahan.

"Aku—,"

"Aku memintamu untuk tetap beristirahat di kamar dan biarkan pelayan melakukan tugas mereka. Kau bisa meminta apa saja dari mereka, tidak perlu repot ke dapur dan melakukan semuanya sendiri. Kenapa kau tidak mendengarkan aku, Hanum? Kalau terjadi sesuatu padamu dan bayi kita bagaimana?"

Belum sempat aku menjelaskan semuanya, Akbar sudah memotong kalimatku.

"Ssstt ... Akbar diamlah! Kepalaku tambah sakit jika mendengar pidatomu itu!"

Aku memegangi pelipisku yang dilapisi perban. Bukannya datang dengan menanyai keadaanku secara baik-baik, ia justru marah-marah dan mengomel. Aku, 'kan tidak sengaja jatuh kepleset saat membuat brownies tadi. Lagian, siapa juga yang tau jika ada plastik di lantai yang akan kuinjak hingga membuatku jatuh.

Akbar mengurut keningnya sebentar lalu beralih menatapku. Kemudian ia naik ke kasur yang aku tempati. Pria itu meneroboskan tangan kanannya di balik selimut yang kupakai. Ia membelai perutku lembut.

"Maafkan aku, Hanum. Aku hanya mengkhawatirkanmu dan bayi kita," ucapnya tulus dengan nada rendah. Tidak saat ia marah dan menceramahiku tadi.

"Aku bosan hanya duduk dan baring-baring saja. Aku ingin mencari sedikit kesibukan dengan membuat kue yang sudah lama tidak kubuat. Soal aku jatuh tadi, itu benar-benar kecelakaan. Aku tak berniat sama sekali mencelakai bayi ini," jelasku.

"Hmm baiklah, lain kali hati-hati, Sayang."

"Apa kau sungguh bosan hanya duduk dan baring-baring saja di dalam istana ini?" tanya Akbar, tangan kanannya masih membelai perutku, dengan tangan kiri yang sekarang menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.

"Tentu," jawabku singkat.

"Sekarang beristirahatlah. Jika kau sudah pulih, aku akan menemanimu jalan-jalan keliling kebun bunga dan membawa kemanapun kau mau. Aku akan menjagamu dengan baik sekarang."

Aku terenyuh mendengar penuturan laki-laki yang berstatus suamiku itu. Aku tidak pernah mengira ia akan khawatir dan menjadi sesayang ini denganku. Ah bukan, dengan bayi ini maksudnya.

"Hm baik. Tapi aku ingin makan bubur ayam sekarang."

Bawaan bayi memang tidak bisa ditebak. Cepat sekali mood-ku berubah, padahal tadi aku merasa tidak nyaman dan sama sekali tidak lapar atau menginginkan sesuatu. Tapi sekarang tiba-tiba aku ingin sekali makan bubur ayam.

"Aku akan memasaknya untukmu," ucapnya, lalu mengecup keningku singkat dan keluar kamar untuk memenuhi permintaanku.

Usai kepergian Akbar, aku menatap jendela kamar yang setengah terbuka itu. Pikiranku menerawang jauh.

"Semoga aku tak mudah jatuh cinta hanya karna perhatiannya sekarang."

****

Mas Akbar .....

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang