Selama seminggu terakhir ini semua berjalan dengan baik. Semua pelayan, koki, penjaga, dan seluruh penghuni Istana melakukan tugas mereka dengan baik.
Karena usia kandunganku yang semakin menua, Akbar jadi pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Ia akan menjagaku setiap saat dan memenuhi semua kebutuhanku.
Saat-saat senggang, aku biasa menggunakan waktuku untuk melihat ruangan bayi. Menata kembali baju-baju mungil dan juga melihat furnitur yang sangat menggemaskan.
Aku rasanya tidak sabar melihat wajah bayiku. Kira-kira, akan mirip siapa dia nanti?
Tidak sabar rasanya menggendongnya, lalu menidurkannya dalam buaian. Atau menyenandungkan lagu untuknya tidur dan memberinya makan. Pantas saja adik-adikku begitu bahagia ketika bersama anak mereka. Ternyata menjadi orang tua semenyenangkan itu.
Berdebar aku menunggu saat-saat kelahiran nanti. Aku berharap, semua akan berjalan baik-baik saja dan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Sore tadi hujan cukup lebat, jadi malamnya udara serasa begitu dingin. Aku bahkan menggunakan jaket dengan bulu tebal sekarang.
Melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Seluruh penghuni Istana sudah terlelap, kecuali para penjaga yang ditugaskan.
Aku melihat Akbar yang sudah tertidur pulas di sampingku. Membelai rambutnya perlahan, lalu aku ikut berbaring dan tertidur juga. Setelah sebelumnya hanya bersandar di sandaran ranjang sembari mengotak atik ponsel karena belum bisa tidur.
****
Keringat membasahi keningku, tenggorokan terasa kering hingga tercekat. Aku gelisah, lalu terbangun dari tidur. Lagi-lagi mimpi buruk itu.
Mencoba meraba gelas dan teko di atas nakas, aku menemukan teko yang biasanya terisi air putih kini kosong. Aku lupa meminta Alsava untuk mengisinya tadi sore.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ingin membangunkan Akbar agar menolongku mengambilkan air di dapur, namun melihat air mukanya yang begitu kelelahan, aku jadi tidak tega. Maka kuputuskan untuk turun sendiri mengambil air di dapur.
Membuka pintu kamar, aku melihat lorong lantai dua sudah sangat sepi, juga lampu utama sudah dimatikan. Hanya menyisakan lampu hias yang tersemat di sisi dinding. Cahayanya hangat temaram.
Berjalan hati-hati, aku menuruni tangga sembari membawa teko kosong. Lantai satu juga sangat sepi, tidak ada suara apapun atau seorangpun yang berlalu lalang. Pun cahayanya temaram, hanya lampu hias dinding yang dinyalakan.
Menuju dapur, aku segera mengisi air dalam gelas dan meneguknya hingga tandas. Setelah itu baru aku mengisi teko berlapis perak itu dengan air putih dan bergegas membawanya kembali ke kamar. Jika Akbar bangun lalu tidak melihatku di sampingnya, ia pasti akan khawatir dan mencariku.
Aku keluar dari dapur, lalu melewati ruang tengah. Telingaku mendengar suara seperti barang yang yang sengaja dijatuhkan, lalu bisik-bisik orang. Penasaran, aku mengikuti arah sumber suara tersebut.
Betapa terkejutnya aku, saat melihat dua orang pria berbadan kekar tengah membongkar brankas utama di ruang kerja Akbar. Mereka terlihat antusias dan memindahkan tumpukan uang dari brankas ke dalam koper yang telah mereka siapkan.
Aku berjalan mundur, masih memperhatikan dua orang yang sibuk dengan aksi mereka. Berniat kembali ke kamar dan membangunkan Akbar, aku justru tak sengaja menjatuhkan teko air yang kupegang.
Praangg!
Dua orang yang merampok brankas utama itu refleks mengalihkan perhatiannya padaku. Mereka mematung seketika, dan aku pun ikut terkejut dengan hal itu.
Aku berlari menuju dinding di ruangan tengah dengan kemudian menekan tombol bel tanda bahaya. Suaranya berbunyi nyaring, tak sampai dua menit, para pelayan dan penjaga datang.
Mereka datang dengan berlari tergopoh-gopoh. Bingung sekaligus takut melihat semuanya.
Perampok tersebut mengeluarkan belati dari saku mereka dan bersiap melawan.
"AKBAR!" teriakku. Aku harap tidur pulas Akbar akan terganggu dengan suara bel dan teriakanku juga kegaduhan di lantai satu.
Aku melihat tiga orang penjaga wanita dengan tubuh kekar maju berani melawan perampok tersebut. Tidak ada seorang pria pun di sini kecuali perampok itu, karna seperti yang kubilang dulu, Akbar menempatkan semua wanita di Istana ini. Istana wanita, dan tidak diperkenankan para pria masuk kecuali para tamu atas seizin Akbar.
Para pelayan ikut berteriak histeris melihat perkelahian antara perampok dan penjaga Istana.
Aku telah menyalakan semua lampu ruangan, dan kini terlihat jelas. Dua orang perampok itu adalah orang kepercayaan Akbar. Tangan kanan Akbar.
Pantas saja mereka bisa masuk ke dalam Istana ini dengan mudah, padahal penjagaan ketat dan keamanan yang maksimal. Mereka tau setiap inci dari Istana ini, dan begitu lihai merencanakan semuanya.
Baku hantam terjadi, barang-barang banyak pecah dan berjatuhan. Tiga orang penjaga wanita itu meskipun kekar dan kuat, tapi tenaganya tak sebanding dengan dua orang perampok itu. Mereka berhasil mengalahkan satu penjaga hingga membuatnya tumbang.
"Ratu, bagaimana ini? Kita harus menghubungi para penghuni Istana pria segera mungkin," ucap salah satu pelayan dengan cemas.
Aku meremas jemariku, takut.
Duaar!
Satu orang perampok menembakkan pistol ke langit-langit. Membuat semuanya semakin tak terkendali.
"Dimana telfon Istana?" tanyaku pada salah satu pelayan.
"A-ada di sana Ratu," jawabnya gugup sembari menunjuk meja di samping sofa utama.
Aku melihat perkelahian terus berlanjut, juga melirik telfon tersebut. Aku harus segera meminta bantuan jika ingin semua ini segera terkendali.
Aku merasakan tendangan hebat dari perutku. Meringis, aku memegangi perut buncitku cemas.
Akbar turun dari lantai dua, masih menggunakan piama tidur. Ia melihatku dengan khawatir, lalu beralih melihat perkelahian yang terjadi.
Rahang Akbar mengeras, melihat pelaku dari perampokan tersebut. Aku yakin, ia sangat marah sekaligus kecewa karena orang kepercayaannya justru menghianatinya.
Ikut turun dan membantu mengalahkan dua orang perampok tersebut, lengan Akbar justru terkena belati.
Aku berteriak lalu memilih segera menelfon bantuan.
Sedikit berlari, aku kembali merasakan tendangan dari perutku. Menuju gagang telfon tersebut, aku harap-harap cemas semoga Akbar dalam keadaan baik.
Mengabaikan nyeri di perutku, segera aku memencet tombol angka dengan tangan gemetar, aku salah menekan angka terakhir hingga telfon tidak tersambung.
Mencoba sekali lagi, aku justru terhenyak kaget ketika salah satu perampok berlari cepat ke arahku. Dan tanpa bisa kuhindari, ia menusukkan belati tajam itu ke perut kananku.
"AAARRRGHH!"
Bruukk
Bresss
Aku menjatuhkan gagang telfon dan langsung ambruk ke lantai. Darah segar mengalir. Perih, panas, nyeri, lebih dari itu, aku merasakan sekujur tubuhku sakit, terutama perutku.
"RATU!"
"HANUM!"
Semuanya gelap, aku memeluk perutku dengan lemas. Lalu jatuh tak sadarkan diri.
****
Episode romantisnya selesai, ya. Ganti yang tegang-tegang dulu 🤭
Btw, dulu waktu nulis di story WA, ceritanya cuma sampai ini. Gantung di bagian baku hantam. Bahkan lebih singkat dan sangat singkat dari 27 chapter ini.
Hanya garis besarnya saja. Setelah pindah di WP, aku kembangin jadi sebanyak ini. Hihi, idenya Alhamdulillah ngalir dengan sendirinya.
Jangan lupa dukungan votenya, ya. Thank you❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...