Chapter 52

391 35 0
                                    

Istana itu, selain menjadi awal mula kisah Hanum-Akbar, juga menyimpan misteri yang sulit untuk dipecahkan dalam sekali langkah.

Mengenai buku-buku tua dengan tulisan yang sulit dimengerti. Pintu dan ruangan-ruangan rahasia, labirin, juga harta karun yang tersembunyi.

Hanum kadang-kadang berpikir bahwa suaminya adalah salah satu bagian dari sebuah kisah kerajaan masa lalu yang masih tersisa.

Siapa Akbar sebenarnya? Dari mana asalnya?

Ah, ingin sekali Hanum menanyakan semuanya pada Akbar. Ingin sekali ia meminta Akbar bercerita semua hal. Teka-teki yang belum mendapatkan kepingan puzzle jawaban itu, membuat hatinya terasa mengganjal.

Ingin sekali Hanum mendengar Akbarnya bercerita. Dengan sentuhan lembut pada dirinya, sembari berkata manis dan memandang penuh kasih. Ingin sekali ....

Tapi Hanum sadar, ia tak lagi bisa merasakan itu. Mungkin, teka-teki itu akan terjawab nanti. Akan diberi tahu oleh Akbar nanti. Tapi bukan pada dirinya. Melainkan ... tanpa menyebut namanya saja pasti semua bisa menebak dengan benar.

Hanum menghela napas panjang. Ada banyak benang yang berkelindan dalam kepala. Menciptakan riuh gelisah tak berkesudah.

Memandang rembulan malam yang kini berpendar terang, Hanum tanpa sadar justru bernostalgia mengenai masa lalunya.

Tentang Akbar dan dirinya. Awal mula ia bersikukuh tak ingin menikah, terus menunda-nunda, hingga akhirnya terpaksa menikah karena perjodohan yang dilakukan orang tuanya.

Entah apa yang membuat mereka seyakin itu menikahkan putri sulungnya dengan seorang lelaki bernama Akbar. Jika karena kekayaannya, mungkin tidak seberapa. Orang tua Hanum pengusaha sukses. Hartanya tertimbun di mana-mana. Sebelas dua belas dengan keluarga Akbar.

Jika hanya ingin putrinya menjadi kaya, tentu tidak perlu repot-repot mencarikan suami yang kaya pula. Mereka sudah cukup berada.

Atau jika karena Akbar rupawan? Ah, sudah tidak terhitung berapa banyak lelaki tampan lagi mapan yang datang meminang lagi berakhir kecewa karena penolakan.

Hanum selalu menolak halus lelaki yang datang meminangnya. Alasan yang klise; belum siap menikah.

Dalam artian, ia masih ingin sendiri. Menikmati waktu sendiri, berpetualang, menjelajah setiap jengkal bumi, juga mencari banyak ilmu tanpa ikatan khusus yang mengekang diri.

Dan, sampailah Hanum pada titik ia tak lagi bisa berkutik. Sekeras apapun Hanum, ia tak bisa menolak bila bundanya sudah keukeuh atas keputusannya.

"Andai Bunda mengerti, bahwa keputusan Hanum untuk menunda pernikahan bukan karena Hanum tak ingin menikah. Tapi karena Hanum ingin lebih memantapkan hati, mencari jati diri. Oh apakah memikul beban menjadi seorang istri tak memerlukan banyak perbekalan?"

"Andai Bunda mengerti, bahwa pernikahan bukan ajang perlombaan. Bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai hingga garis finish. Pernikahan tidak seperti itu adanya."

"Juga, andai Bunda tau, apa yang dilakukan lelaki pilihan Bunda. Andai Bunda tau, bahwa Hanum terluka karena pernikahan ini. Maka Bunda pasti tetap membiarkan Hanum dengan keputusan Hanum. Mungkin sekarang Hanum tengah sibuk berkutat dengan segala tugas perkuliahan juga pekerjaan yang Hanum cita-citakan."

"Andai Bunda tau, bahwa Hanum tak lagi bahagia di istana ini, pasti Bunda tak akan berpikiran untuk menjodohkan Hanum."

"Andai Bunda tau ...." lirih Hanum. Ia merasa sangat sesak bila mengingat seperti apa keadaannya sekarang.

Apakah Hanum menyalahkan orang tuanya atas segala keadaan yang terjadi?

Tidak. Hanum tidak sependek itu dalam berpikir. Gadis itu sudah sangat dewasa dalam memaknai setiap hal yang terjadi.

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang