Chapter 14

956 130 0
                                    

Kalian tau apa yang paling tidak bisa aku tolak selama hamil? Iya, rasa ngidam.
Meskipun terkadang keinginan-keinginan aneh yang diinginkan, aku tak bisa mengabaikan itu. Bawaan bayi memang.

Seperti sekarang, aku ingin sekali membuat pancake dengan gambar berbagai macam kartun. Kemarin sore aku melihat video cara pembuatannya di Instagram, dan aku tertarik mencobanya. Tapi aku tak ingin membuat itu sendirian, aku ingin bersama Akbar.

Entah mengapa, semakin besar usia kandunganku, semakin pula aku merasa sangat ingin selalu dekatnya. Terkadang bahkan terbilang cukup manja sampai tak ingin Akbar melepas pelukannya barang sejenak.

Aku menuruni tangga di temani Alsava. Oh iya, apakah aku lupa mengenalkan Alsava kepada kalian? Alsava itu pelayan pribadiku, umurnya baru dua puluh empat tahun. Setiap kali aku membutuhkan sesuatu yang penting, Alsava lah yang aku cari dan aku perintahkan untuk itu. Tugasnya memang melayaniku sekaligus menjagaku. Ia direkrut Akbar tepat dua Minggu setelah kejadian di kebun waktu itu.

"Perlahan Ratu," ucapnya saat kami menuruni tangga.

Aku melihat Akbar di ruang tamu tengah berbincang dengan salah satu staf kantornya. Sepertinya sedang ada pembicaraan serius sampai Akbar terlambat duduk di meja makan untuk sarapan. Akbar itu tipikal orang yang selalu on time. Sangat menghargai waktu. Jika ada kegiatan yang tak dilaluinya dengan tepat waktu, berarti ia tengah melakukan hal lain yang lebih penting dari itu.

Aku memakan sarapanku dengan tenang, sembari menunggu Akbar yang masih saja berbincang di depan sana. Sengaja berlama lama, aku menunggu Akbar selesai dan bisa bergabung bersama kemari.

Dua puluh menit menunggu, aku melihat Akbar mengajak staf kantornya menuju ruang makan untuk sarapan. Tersenyum ramah aku menyambut staf kantornya itu yang tidak tinggal di istana ini. Ia sepertinya salah satu bagian dari orang kepercayaan Akbar di luar sana.

"Mina, bawakan sarapannya untuk Raja dan tamunya," perintahku pada salah satu pelayan. Pelayan itu mengangguk sopan lalu pergi ke dapur dan membawakan apa yang aku minta.

"Kau belum selesai sarapan?" tanya Akbar lembut.

Aku menggeleng, "Aku menunggumu." Lalu tersenyum ke arahnya yang dibalas senyum serupa.

Mina datang dengan membawa nampan berisi nasi dan beberapa lauk lain. Sepuluh menit dengan sesekali berbincang mengenai urusan kantor, aku menjadi pendengar antara keduanya. Tak berniat menimbrung jika bersangkutan dengan  pekerjaan.

"Raja, kita akan mengadakan rapat mengenai agenda baru kita di Selandia baru, hari ini jam delapan tiga puluh di rumah profesor Adnan."

Akbar melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, lalu kembali berucap, "Setengah jam dari sekarang. Mari berangkat sekarang atau kita akan terlambat."

"Hanum, aku pergi sebentar. Jaga dirimu baik-baik," ucapnya, lalu bergegas pergi meski sarapannya baru dihabiskan separuh.

Aku mengikuti Akbar yang akan meninggalkan ruang makan. Dengan berhati-hati sembari menyangga perut besarku, aku menghentikan Akbar.

"Aku tak mengizinkanmu pergi sekarang."

Akbar mengerutkan kening, heran mengapa aku menahannya.

"Apa ada sesuatu?"

"Aku sedang ingin membuat pancake sekarang. Dan aku ingin membuatnya bersamamu," ungkapku.

Akbar lagi-lagi tersenyum dan menangkup wajahku, "Kita akan membuatnya setelah aku pulang nanti, Hanum. Aku berjanji," katanya sungguh-sungguh.

Aku menggeleng dan menepis tangannya dari wajahku secara perlahan.

"Aku mau sekarang. Bukan nanti!"

"Tapi aku sedang ada urusan. Ini proyek penting. Bukankah begitu, Amir?" Akbar menoleh pada lelaki yang dipanggil Amir tersebut.

Aku melihat ia mengangguk sambil tersenyum.

"Apakah pekerjaanmu jauh lebih penting dari pada aku dan bayi kita?" Aku bertanya setengah menangis.

Entah kenapa aku menjadi banyak drama sekarang. Mendengar Akbar yang menunda permintaanku, membuat mataku berkaca-kaca seketika dan ingin menangis saat ini juga. Apakah bawaan bayi memang seperti ini?

"Sssttt, Hanum. Apa yang kau katakan, tidak seperti itu," Akbar mengusap satu buliran bening yang lolos dari sudut mataku.

"Kalau begitu batalkan pertemuannya. Kau bisa menyuruh orang kepercayaanmu untuk menggantikan rapat itu bukan?" suaraku naik satu oktaf dengan air mata yang kian mengalir.

"Hanum, mengertilah. Rapat ini wajib aku hadiri," jelas Akbar, masih berusaha membuatku mengerti.

"Aku tidak peduli! Aku ingin membuat pancake denganmu sekarang. Tidak nanti ataupun lusa. Apa tidak berkerja sehari saja akan membuatmu bangkrut? Hah? Kau lebih menyayangi uang dari pada keluargamu sekarang!"

Aku lepas kendali, berteriak di depan Akbar saat ia mencoba menenangkanku.

"Hanum, dengar—,"

"Kau bilang menyayangi bayi ini? Tapi membagi waktu untuknya saja teramat sulit. Apa itu yang disebut kasih sayang?"

Akbar mengurut pangkal hidungnya, lalu menggenggam tanganku. Namun aku dengan cepat menepisnya.

"Amir, katakan pada Rajamu ini untuk memanagement waktu dengan baik. Bahkan menyisihkan waktu untuk istri dan anaknya saja tidak bisa!" ucapku sinis dengan nada tinggi.

Aku melupakan satu hal, bahwa Akbar bisa menjadi seperti singa ketika marah. Ia juga bisa hilang kendali saat moodnya berantakan. Tapi aku tidak peduli. Jika ia melampiaskan amarahnya padaku, itu membuktikan bahwa ia memang tak peduli denganku dan bayi ini.

Amir terlihat kikuk, hanya tersenyum sambil menatap Akbar dengan bingung.

"Ayolah, Akbar! Aku ingin sekarang! Ayo!" rengekku sambil menarik lengan Akbar untuk menuju dapur. Para pelayan yang hilir mudik melakukan tugasnya terlihat salah tingkah melihatku yang lebih mirip seorang anak yang merengek meminta dibelikan balon oleh ayahnya.

"Hanum sayang—,"

"Ayo! Sekarang Akbar!" Aku tak membiarkan Akbar mengucapkan satu katapun. Ia harus menurutiku sekarang.

Akbar masih diam ditempatnya. Tak mengikuti kemauanku.

"Hanum mengertilah. Aku tidak bisa meninggalkan rapat ini," tegas Akbar sekali lagi. Kali ini aku tidak mendengar nada kelembutan seperti sebelumnya.

Aku menghempaskan tangannya lalu menatapnya sengit. Tidak menyangka ia akan menolakku dan memilih penting pekerjaannya.

Kembali menangis, aku mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Baik, hadiri saja rapat pentingmu itu," ucapku ketus lalu bergegas pergi menaiki tangga dan mengabaikan Akbar yang berulang kali memanggilku. Ia bahkan tak mengejar saat melihatku menaiki tangga sendiri dengan tergesa-gesa.

****

Bumil baperan

Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang