Aku kesal, marah, tapi tak sampai hati sebenarnya membuat orang disekitarku sampai bersusah payah membujuk. Kesalahan Akbar kemarin sebenarnya cukup fatal. Ya, menurutku.
Coba bayangkan bagaimana jika peluru itu meleset mengenai kepalanya yang tak terlindung apapun? Apakah ia yakin akan tetap selamat? Atau bagaimana jika aku yang terkena tembakan peluru itu? Tidak, aku tak ingin bayiku terluka.
Akbar cukup sinting dengan mengerjaiku seperti itu!
"Hanum ... makan yuk!" pujuk Akbar saat melihatku berdiri di depan balkon kamar.
"Aku tidak lapar," balasku sengit.
"Bagaimana jika kita memasak pizza dan pasta, lalu membuat croissant? Kau tau, aku ahli sekali jika memasak makanan itu," ucap Akbar kembali, kini sambil memelukku dari belakang, tapi aku segera melepasnya.
"Pergilah!" usirku.
"Olololo tayang tayang butuk macih malah yaa ... cini atu tium," ujar Akbar merubah intonasi dan gaya bicaranya seperti anak kecil, lalu kemudian mencium pipiku beberapa kali tanpa izin.
Aku mengelap bekas ciumannya pada pipiku dengan cepat. Menatap Akbar buas lalu melengos pergi.
Akbar mengikutiku, sesekali mentoel perut bundarku dari samping membuatku terjengkat geli dan refleks mencubitnya.
"Apa kau tidak bisa diam hah?" geramku.
Akbar menggeleng sambil tersenyum lebar kemudian dengan cepat membopongku. Membuatku tak bisa mengelak.
"Apa yang kau lakukan Akbar! Turunkan aku!" berontakku saat Akbar dengan penuh semangat berjalan sembari membopongku lalu dengan lembut membaringkanku di atas kasur.
"Ayo kalau begitu kita tidur saja, Hanum. Kau kuajak makan juga tak ingin," ucapnya santai dengan kemudian menarik selimut.
Sebenarnya laki-laki ini kesurupan bakteri apa hingga sikapnya jadi sedikit gila seperti ini?
"Siapa yang mengizinkanmu tidur di sini? Pergilah ke kamarmu! Aku tidak ingin tidur seranjang dengan bakteri!" Protesku saat Akbar tidur di samping kanan sambil melingkarkan tangannya di atas perutku.
"Kau memanggilku bakteri, Hanum? Oh sayang lihatlah ibumu ini nak, tega sekali ia dengan ayah," ucap Akbar dramatis, aku sedikit mual mendengarnya.
"Sudah pergilah sana! Pergi! Kau dari tadi menggangguku saja," omelku.
"Ssstt Hanum! Jangan berisik, nanti debaynya bangun," bisik Akbar dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
"Dia tidak tidur," tukasku.
"Ah benarkah?" tanya Akbar antusias lalu menyibak selimut yang menutupi kami.
"Kalau begitu ayo bermain dengan Ayah nak," lanjutnya.
Akbar mengelus perut besarku lalu menciuminya dengan sayang.
"Dedek sayang, lagi apa di dalam? Main bola, ya?" ucap Akbar berdialog dengan bayi dalam kandunganku.
Dugh!
Satu tendangan kecil aku rasakan saat Akbar mengucapkan itu. Akbar tertawa lalu memainkan jari telunjuk dan tengah seperti gerakan berjalan di atas perutku.
"Tikkitik kitikkitik dedek dimana?"
Dugh!
Sebuah tendangan kecil aku rasakan diperut bagian bawahku.
"Oh dedek di sini yah. Tik kitik kitik kitik kitik dedek seneng ga kalau main sama Ayah?"
Kini bukan lagi tendangan kecil, namun tendangan beruntun yang membuat perutku sedikit nyeri. Sepertinya bayiku sangat senang dan aktif ketika berada di dekat ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setyaningrum (Be The Queen in My Palace)
FantasyCOMPLETED ✅ Romance-Mysteri-Fantasy [Silahkan follow terlebih dulu] Seorang gadis dewasa yang tangguh dan pemberani seperti Hanum sebenarnya paling enggan menikah. Apa enaknya? Ribet! Hanum ingin menjadi wanita yang mandiri dan bebas. Ia ingin berke...