01 | Aku ... lelah

3.8K 200 7
                                    

"Sssst ... pssst! Vel, pilihan ganda nomor lima jawabannya apa?" bisik Tena nyaris tak terdengar. Namun, ia yakin oktaf sekecil itu masih sampai ke telinga gadis di hadapannya. Tena mencolek punggung kecil itu dengan bolpoin keras, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

"Dia tidak mau jawab! Bagaimana, dong?" Tena menoleh cemas ke arah cewek sebelah yang berbadan bongsor. Tatapan tajam itu kian menukik begitu tak mendapat apa yang ia inginkan. Oda memerhatikan pengawas yang bersandar di ambang pintu dengan kepulan asap menguar dari bibir cokelatnya. Tanpa menunggu kesempatan apabila pria itu keluar, Oda langsung mengambil tempat duduk Tena dan pura-pura menggaruk dahi ketika Pak Endi mendengar kasak-kusuk mengganggu.

"Sudah selesai?"

Gemaan "Belum, Pak!" dan segala macam sumpah serapah silih berganti memekikkan telinga. Namun, semua orang seakan tuli. Runtutan soal aljabar dan geometris dengan segala pilihan beda tipis membuat helaan napas kelas XII RPL kian terasa mencekam.

"Vel!" Bisikan itu mengganggu lagi. Velia kian menunduk. Gadis berkulit pucat itu meremang merasakan tekanan bolpoin di pundaknya. Bukan ujung belakang, tetapi bagian tinta pulpen itu yang menekan kuat ke dalam kulitnya. Velia mengepalkan tangan kuat, gemeretak giginya saling bergesekan, berusaha tetap fokus dan mengabaikan desis mengerikan di belakangnya. Ia harus berkonsentrasi jika tidak ingin tumpukan rumus ini kembali melayang dari ingatan.

Kurang ajar. Jelas-jelas suara rendah Oda nyaris didengar semua orang. Bisa-bisanya cewek tidak tahu diri ini abai pada perintahnya?

Maka dari itu, dengan rahang mengeras, Oda bangkit. Meraih sisi kiri perut Velia kemudian memelintirnya kuat.

"AKH! Sa-sakit!"

Velia membolakan mata terkejut kala menyadari semua atensi kini mengarah padanya. Gawat! Pak Endi sudah mendengar pekikannya. Apa yang harus Velia katakan sekarang?

"Kenapa teriak?" Pria yang memberi minyak rambut pada kumis tebalnya itu tak menutupi kengerian di wajah garangnya. Sontak Velia yang mengerut segera mengenyahkan perih luar biasa di ulu hatinya dan duduk tegap seolah semua baik-baik saja.

"Tidak ada, Pak. Aku ... aku ketiduran."

Lagi-lagi ia menunduk sampai dagu tirusnya nyaris bersentuhan dengan leher. Endi terkekeh, anak ini kira dia bisa dengan mudah dikelabui? Lantas, dia berjalan ke meja belakang. Mengamati para siswi yang sok sibuk menghitung kemudian menjatuhkan atensi pada tubuh belakang Velia.

Coretan acak mengotori seragam putih-kelabunya, dan begitu Endi menurunkan pandangan ke sisi kemeja yang Velia tekan kuat, kainnya kelihatan tidak rapi seakan sudah ditarik cukup kuat.

Ah, Endi mengerti.

"Siapa yang sudah kau kasih jawaban?" Berbanding terbalik dengan senyum manis yang dia tunjukkan, sepasang pupil hitam pekat itu justru menatap setajam pisau bak siap menghunus siapa saja yang berani memandang.

"KALAU BAPAK TANYA, JAWAB!"

Semua siswa terperanjat kaget mendapatkan bentakan tak terduga, apalagi Velia. Gadis itu langsung bangkit dari tempat duduknya dengan tangan gemetar. Velia segera mengalihkan netranya yang bertubrukan dengan iris Pak Endi takut.

"Ti-tidak ada, Pak! Sungguh."

"Haah ... kau mau main-main ternyata."

Endi berkacak pinggang pongah, kemudian menatap satu per satu siswi yang saling sikut tidak ingin disalahkan.

"Kalian semua kecuali dia, ke lapangan sekarang!"

***

Brak!

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang