Kosong. Oda tidak bisa berpikir. Ini terlalu tiba-tiba. Terlampau jauh dari bayangannya. Oda benci Velia yang mulai tak takut padanya, dendam saat cewek itu lancang meneriaki mukanya, sebal setengah mati saat ada orang lain yang melindunginya. Oda tak menyukai segala hal tentang Velia. Oda jijik melihat Velia sekadar bernapas sejak perjumpaan pertama mereka di kelas satu. Namun, kenapa?
KENAPA?!
Jari gemuk itu meremas gelisah waktu tangan Oda lepas dari gagang pintu rumah sakit. Suster yang sibuk menjelaskan sesuatu ke ibu hamil kemudian kembali duduk setelah pasiennya pergi menjadi perhatian Oda. Bibir Oda menipis, dia menggesekkan gigi bawah dan atasnya berang. Ia bawa kaki berbalut celana sekolahnya menuju suster itu, kemudian bertanya dengan ketus.
"Apa ada pasien yang namanya Velia?"
Tanpa senyum.
"Ah, sebentar, ya." Oda tidak peduli apa yang suster itu cari di komputer. Oda tidak peduli apa pun, siapa pun.
"Pasien sudah dipindahkan ke kamar mayat tiga jam lalu. Adek mau ke sana—"
"Omong kosong."
"Ya?"
"Kubilang omong kosong! Kau tidak dengar, hah?!"
Oda berbalik, mengepalkan tangan kuat. Matanya memendar tidak fokus, melihat ke segala arah untuk mencari fokus, tapi tak mempan. Fokusnya sudah Velia raih. Ketenangannya telak cewek itu porak-porandakan.
Kenapa? Kenapa Velia bisa membuatnya seberantakan ini?
Lemas. Tenaga Oda disedot makin kuat, mengorek habis kekuatannya. Ia jongkok, terjatuh cepat. Oda refleks menggigit punggung tangannya, menyorot lalu lalang di hadapannya dengan pekikan tak bersuara.
Kemudian, ia menangis hebat.
***
"Pasien mengalami syok hipovolemik, kehilangan banyak darah dan dehidrasi selama dua hari penuh. Bu Hana tidak sadarkan diri karena saat syok, jantungnya tidak mampu bekerja. Juga, kami menemukan bekas benturan yang parah di kepala pasien, seperti sudah dipukulkan ke dinding secara sengaja dan berkali-kali, goresan kuku di pergelangan dan leher juga menunjukkan gejala percobaan bunuh diri. Bu Hana sudah sadar, tapi kondisi tubuhnya lemah. Sekarang pasien sedang tidur,dan tidak bisa terbangun dengan mudah karena obat yang kami beri, jadi Bapak tolong mengerti keadaan pasien."
Perkataan Dokter mengiangi benak Ersa, tak niat lepas begitu saja. Ersa sempat pulang untuk mandi, ganti baju serta membawa perlengkapan yang dibutuhkan Hana. Meski berat hati, Ersa terpaksa membongkar lemari pakaian wanita itu, mengingat tak ada orang lain yang mungkin melakukan itu untuk Ersa. Saat Ersa tiba di rumah Hana, garis polisi sudah memenuhi rumah itu. Polisi sempat menghalanginya, tapi untungnya mereka memahami kondisi Ersa. Kamar Hana juga tak punya jejak darah, jadi Ersa bisa leluasa masuk ke sana.
Ersa berhenti, tak lagi berjalan walau tinggal satu kamar rawat yang perlu ia lewati. Hana sudah baik-baik saja sekarang. Hana tidak sekarat lagi. Itu yang paling penting, Ersa tak perlu memikirkan hal lain, karena sebanyak apa pun uang yang Ersa beri, tak akan mampu membangunkan Velia kembali. Kehilangan Velia adalah hal mustahil untuk Ersa tarik dari hidup Hana.
Lelaki itu mengembuskan napas, kembali melanjutkan langkah hingga tiba di depan kamar rawat Hana. Hana yang terbaring dengan mata tertutup, ditemani selang infus di sebelahnya menjadi pemandangan menyakitkan untuk Ersa. Kakinya membeku, terlalu susah untuk masuk ke sana. Akal Ersa sudah kehabisan cara untuk memberitahu Hana soal Velia. Apa yang harus Ersa lakukan? Penimbaan tanggung jawab tiba-tiba ini sungguh memberatkannya, memaksa Ersa terus berada di sini, stuck, tanpa tahu harus meminta tolong ke siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...