"Makan yang banyak, dong, Sayang. Kau mau tinggi seperti Abangmu, 'kan?" Mami mengejek, terkekeh kala Gelia merenggut dan tak jadi menyendok nasi. Waktu melirik ke Grenan, kakak sulungnya yang terpaut tiga tahun, cowok itu memeletkan lidah, meledek Gelia puas.
"Pa, Abang tuh!" adunya cemberut.
"Grenan, adikmu jangan dibikin kesal terus." Teguran itu mengembalikan tingkah pongah si bungsu. Gelia cengar-cengir, tak peduli Grenan mendengkus. Namun, saat Gelia mencari saus mayones yang berada di tepi meja, tanpa bicara Grenan berdiri lebih dulu, menyemprotkan ke tepi piring adiknya, dan kembali makan.
"Makasih, tumben baik."
"Berisik, Cebol."
"Abang!"
Kehidupan keluarganya bahagia.
***
"Gelia! Gelia!" Puluhan sahabat cowok menyerukan namanya. Gelia menenggak gelas bir ke enam, meminum gelas selanjutnya dan mengangkatnya sambil tertawa-tawa kala anggota baru di gengnya sudah teler. Mereka bersiul kagum. Galuh mendekat, merangkul Gelia sampai cewek itu sesak dan mencubit pingganya.
"Kenalkan! Cewekku nih--aakh, Gel, sakit!"
Bara terpingkal-pikal, di sebelahnya Revan tertawa kecil. Bayu berdecak-decak sambil tepuk tangan.
"Lagian mau sampai kapan kau pura-pura pacaran sama Gelia, monyet?" Regan menjitak Galuh yang mengelus pinggangnya. Cowok itu menatap Gelia dongkol.
"Jahat banget, sih, kau! Makin lama malah tambah anarkis!"
Gelia tertawa. Ia duduk di sofa sebelah kiri, bergabung dengan empat cowok yang lain. "Jadi, sesuai perjanjian, siapa yang traktir kita malam ini?"
"Si anak baru dong!"
Mereka ketawa lagi. Sedetik kemudian, obrolan sudah berpindah ke topik lain. Gelia mendengarkan sambil memangku lengan ke lutut. Sesekali ia akan mengejek Galuh, bersiul kala kemenangan Revan di arena balap tengah dibahas, dan tertawa lagi kala Bayu dan Bara membuat lelucon porno.
Dia tidak dekat dengan perempuan, tapi teman cowoknya ... ratusan.
Seminggu sekali berkumpul di antara puluhan lelaki, menjadi satu-satunya cewek di antara cowok bermartabat buruk. Hampir semua teman Gelia memiliki kesan yang berbahaya di kampus. Bara, meski sering bersikap bodoh di depan Gelia, adalah cowok yang menaklukkan banyak gadis. Kalau hari Senin Bara datang ke kampus bareng cewek jurusan Kedokteran, hari Rabu, dia bakal membonceng pulang gadis pentolan jurusan Seni.
Menyedihkan begitu, Galuh termasuk yang paling ganteng di antara mereka. Rambutnya gondrong dan agak ikal. Ia punya mata berwarna hijau. Senyumnya manis sekali. Namun, sayang, Galuh masih terlalu awam soal percintaan. Ia terus memandang sekretaris BEM, tetapi tak berani mengungkap rasa. Pantas saja dia selalu jadi bahan olokan anak-anak.
Regan tidak terlalu banyak bicara, tapi saat gabung dengan Bara, dia bakal jadi cerewet sampai mulutnya mesti disumpal rokok. Ayahnya pemilik beberapa hotel ternama di Makassar. Di balik senyum menawannya ke semua orang, bagi Gelia, Regan adalah karakter cowok yang mesti dihindari. Cuma satu yang menjadi kesenangan Regan, hal yang bisa membuat cowok itu merasa hidup. Sex.
Bayu itu sahabat terlama Gelia. Mereka berteman sejak SMP. Namanya selalu disebut-sebut dosen saat di kelas. Dia mahasiswa paling pintar, tapi menjadi distributor narkoba ke mahasiswa maupun remaja yang kecanduan. Bayu tak peduli soal norma. Baginya, yang penting dia bisa hidup tenang, berfoya-foya dan happy. Tak ada alasan untuk menolak kerjaan semenguntungkan itu.
Kalau Revan, hmm ... Gelia bisa bilang apa, ya? Orang tuanya publik figur. Nama bokap-nyokapnya berseliweran di koran dan televisi. Kekayaan Revan setara dengan Gelia. Namun, mata cowok itu selalu memancarkan kegelapan. Revan tak pernah cerita, tapi seakan paham, yang lain tahu, keadaan di rumah cowok itu tidak pernah baik. Di jalananlah Revan bisa melampiaskan segala emosinya. Mengikuti ajang balap ilegal, sesekali disergap polisi, tapi berhasil lepas karena kekuasaan bokapnya. Tentu saja, uang bisa melakukan segalanya.
Sepertinya yang lain belum sadar, tapi Gelia, Regan juga Bayu, tahu Revan sudah mengonsumsi narkoba sejak dua tahun lalu.
Teman-teman Gelia dipenuhi oleh cowok bermasalah, tapi memiliki kekuasaan tak tertandingi. Ada banyak yang lebih hebat dari nama yang Gelia sebutkan sebelumnya. Gelia memiliki orang-orang di belakang yang langsung turun tangan saat Gelia kewalahan menghadapi sesuatu.
Ah, sepertinya karena sibuk memperkenalkan sahabat karibnya, Gelia jadi lupa, ya?
Kalau Gelia sendiri, mesti diceritakan dari mana, ya?
Gelas alkohol berjatuhan dari meja kemudian pecah kala jatuh ke lantai. Gelia meringis, lututnya berdarah. Ia menatap pergelangannya yang dicengkeram kuat.
"Ayo pergi." Vano menarik Gelia kasar, tak memedulikan meja kaca yang ia geser hingga hampir rubuh.
Genggaman itu ditahan. Vano berbalik, menyorot bengis.
"Kau kira kau siapa main tarik begitu?" Revan memiringkan kepala. Yang lain terpana, tidak menyangka Revan akan maju lebih dulu. Padahal mereka sudah siap menghalau.
"Dia cewekku. Jangan ikut campur!" Vano menggemeretakkan gigi.
"Oh? Sayang sekali, yang kau bilang cewekmu saja mungkin sudah lupa namamu." Revan mengentak cengkeraman Vano. Ia melepas tangan Gelia pelan. Gelia tak berkata apa-apa. Hanya menonton. Cuma memerhatikan.
Ego Vano tersentil. Ia maju, berdiri nyaris tanpa jarak di depan muka Gelia. "Areyoufuckingserious, rightnow?"
Tak ada perubahan dari wajah cewek itu.
"Ayo pulang. Kau tidak cocok di sini." Jemarinya kembali disambar. Gelia mulai gerah. Ia bersuara kala Regan dan Galuh akan mendekat.
"Lepaskan." Suara itu rendah, nyaris tak terdengar, tapi mengintimidasi.
"Kau tidak dengar?" tanyanya lagi. Alis Gelia terangkat. Ia memainkan lidah, tersenyum sinis melihat tangannya yang diremas sampai kebas. Anak ini mulai menyebalkan.
"Kau mau tahu sesuatu?" Ia maju selangkah. Cewek itu memang lebih pendek dari semua lelaki di sini, tapi aura yang dia kuarkan, terlalu ... mendominasi.
"Tidur satu kali denganmu tidak berarti apa-apa buatku." Gelia menggerakkan rahang mengejek. "Sejujurnya memang tidak ada hal menarik untuk diingat, 'kan?"
Ia tidak mengatakannya secara jelas, tapi wajah Vano langsung memerah.
Langkah terakhir. Sepatu dan boots mereka bersentuhan. Gelia mengalungkan lengan ke leher Vano, menarik paksa agar cowok itu mendekat. Bibir Gelia berada tepat di tepi daun telinga cowok itu.
"Kau jelas tahu itu cuma karena mabuk, kau juga yang memaksa. Kita bahkan tidak pernah jalan. Aku juga tidak tahu nomormu yang mana saat kau menghubungiku. Jadi ... apa kau masih punya muka berdiri di sini?"
Bara meringis. Malam ini, sepertinya Gelia tengah tidak senang.
"But I told you I love you. Kau jelas-jelas tahu itu, 'kan?" Amarah Vano mereda. Ia menatap Gelia sedih.
"Tapi aku tidak." Pelukan sepihak itu terlepas. Gelia memasukkan tangan ke saku jeans. Kardigan hitam mengilapnya menyala saat terkena lampu dari dancefloor. "Dan siapa bilang kau boleh menyentuh tanganku seperti itu?" Cewek itu terkekeh. Vano merinding. "Baby, kau lancang sekali~"
Suaranya seperti alunan pengantar kematian.
Gelia duduk ke sofa, mengambil botol bir, tak lagi mencari gelas karena semuanya pecah. Ia menenggak alkohol itu sambil melipat tangan di depan dada. Bersenandung ringan, seraya menggoyangkan botol kaca di genggaman. Bir dalam botol itu bergerak kesana-kemari, mengikuti gerakan yang Gelia lakukan.
"Life is a waste~ love is a false~"
Vano menatap Gelia di antara pukulan yang ia terima. Tubuhnya mati rasa. Kening cowok itu berdarah. Ia menyorot Gelia penuh dendam.
Napas Gelia terembus. Musuhnya bertambah lagi, deh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...