Tak ada gemerlap bintang di langit Makassar. Rembulan yang terangkat tinggi tak mampu mempertahankan eksistensinya kala gumpalan awan kelabu menyelimuti angkasa. Namun, hal itu tak menyurutkan kegilaan para pengemudi menembus lautan jalan yang tak henti dipenuhi bunyi klakson dan asap knalpot.
Lantunan musik Pop dan Barat bersahut-sahutan kala Yera keluar dari gedung Gramedia. Di sela jari, ia menenteng buku Anatomi bersampul tengkorak emas. Rahang Yera tertekuk masam, alis tebalnya bergelombang memagari kening yang berkerut dalam. Sorot mata Yera mengalahkan tatapan elang ketika menunggangi Red Honda dan melajukannya pelan, sebab banyak kendaraan yang berjejeran di sisi kafe. Beberapa tempat nongkrong berjejer rapi membuat kuping Yera pekak karena speaker dari musiknya saling tumpang tindih.
"Padahal baru jam tujuh," keluhnya kesal. Wajah persegi dengan hidung menjulang tegak serta bibir bervolume itu sempat menjadi santapan orang kala berhenti di salah satu kedai. Namun, pukulan geram pada stir membuat para gadis belia itu kaget dan segera berlalu.
"Apaan, sih? Parkir saja tidak bisa!" Yera mengumpat sambil membunyikan klakson beberapa kali. Amat gemas melihat mobil kuning di depannya tampak takut memutar stir. Memang, di daerah ini ada banyak sekali kendaraan yang terpakir panjang. Bagi Yera, tidak ada masalah, tapi jika pengendara baru yang nekat, yah, pasti akan lama. Apalagi mulai banyak anak muda berkeliaran mencari hiburan.
"Amatir!" ejeknya melampiaskan emosi kala mencuri celah saat si Kuning mundur. Dengan gesit ia meliukkan motor besarnya agar tak menyenggol barisan mobil yang baru datang. Dalam sekali kedip, Yera sudah bergabung di jalanan lebar yang lebih padat dan sibuk.
Harinya benar-benar hancur. Ia tak bisa melupakan penyesalan setelah mengatai Velia seburuk itu. Bagaimana, sih, dia? Kenapa juga mengatakan julukan sekurang ajar itu? Jelas-jelas ia yang melihat sendiri betapa menderitanya Velia karena berita sampah itu, tapi Yera malah memperdalam lukanya.
"Dasar bodoh!" Cowok bertubuh atletis itu mendesis geram. Amarah yang membumbung membuatnya berang dan refleks menaikkan kecepatan si Merah. 80 km/jam bukan pilihan bagus saat jalanan tengah padat begini. Namun, Yera telanjur kesal. Biarlah! Ia harus melepaskan gundah yang lengket di dadanya. Ia tak mau dipenuhi rasa bersalah dan khawatir terus-menerus.
Karena sejujurnya, Yera tak pernah melepas pandangan dari gadis itu.
Bahkan saat ia terkejut akan fakta bahwa Velia menyukainya, hanya beberapa menit setelah berkubang dalam keterkejutan, ia sudah tak sanggup mengetatkan rahang agar tak menoleh ke bangku belakang.
Sedikit banyak Yera mulai memahami perasaannya. Sayang, ia masih bimbang dan dipenuhi asumsi tak terelak seperti, 'kalau kau peduli, lantas kenapa kau mengusirnya dulu?' atau 'sekarang dia punya pacar. Kau mau merebutnya dan mengajaknya selingkuh seperti mantanmu dulu, begitu?'
Lagi-lagi rentetan kalimat retorik itu mencuat di kepalanya. Berulang-ulang, hingga Yera muak dan membentak berang, "Aish, si Geo itu. Kenapa, sih, dia harus datang saat aku lengah?" Mulut Yera komat-kamit mengumpati segala hal yang bisa menjadi sasaran. Ia terlalu kesal, geram, tapi ia tahu, semua itu tak akan terjadi kalau ia tidak selambat ini.
Dasarnya, memang ia-lah yang memberi Geo kesempatan hingga bisa memiliki Velia dengan mudah.
Bahkan setelah Yera luluh dan menggendong Velia saat pingsan, ia masih saja gamang dengan ego dan hatinya. Hingga ketika ia ingin memperbaiki hubungan, bahkan mengurus berita buruk itu dengan menyebar ratusan selebaran agar orang-orang berhenti menghina Velia, harga dirinya malah diinjak-injak.
Velia menyatakan perasaan nyaris sama seperti padanya dulu.
Dan itu terjadi di depan matanya. Pada orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...